Bisnis.com, JAKARTA— Real Estate Indonesia (REI) tengah mengusulkan untuk mempermudah perizinan bagi pengembang dengan syarat jaminan atau asuransi kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Ketua Umum REI Paulus Totok Lusida berujar persoalan teknis terkait usulan tersebut saat ini tengah digodok. "Yang kami usulkan, tujuannya bukan mempercepat persyaratan tapi ada asuransi. Jadi kalau ada default atau penundaan. Asuransi bisa menjadi penengah," terangnya kepada Bisnis.com, Kamis (21/2/2023).
Terkait dengan komitmen pengembang dalam penyelesaian proyek properti, jelasnya, asosiasi sudah membuat aturan agar pengembang menyelesaikannya secara tepat waktu. Meski, aturan dari asosiasi tidak bisa mengikat penuh kepada anggota lain halnya dengan peraturan dari pemerintah.
REI mengeklaim telah berdiskusi dan menyarankan agar anggota menggandeng pihak ketiga seperti perbankan berkaitan dengan kredit proyek properti. Kondisi tersebut akan mengurangi risiko pembayaran langsung kepada pengembang. Dia menilai opsi tersebut dapat menjadi jalan tengah bagi pemerintah agar tidak memperketat regulasi yang akan berujung backlog perumahan.
Sementara dari sisi konsumen, dia merekomendasikan untuk mencermati kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) agar tidak mengandung klausul yang merugikan. Selanjutnya, untuk pemerintah daerah agar bisa menyeleksi pengembang dan tidak buru-buru saat memberikan perizinan pembangunan. Hal ini dilakukan supaya mempermudah komunikasi apabila nantinya ada proyek bermasalah.
Pengembang properti, PT Sri Pertiwi Sejati (SPS) tampil cukup optimistis pada tahun ini dengan merilis proyek kota mandiri baru di Cikarang. Proyek bernama Cinity tersebut menelan investasi hingga Rp20 triliun. Secara total proyek ini dibangun di atas lahan seluas 500 ha. Namun, pada tahap awal pembangunan akan lebih dahulu dikembangkan sebesar 50 ha.
Baca Juga
CEO Cinity Ming Liang yakin pengembang masih bisa membangun kepercayaan calon konsumen dalam proyek barunya. Sebelum meluncurkan proyek, pengembang semestinya menyelesaikan segala persoalan legalitas. Hal itu juga untuk menjaga reputasi sebagai pengembang yang sudah berusia puluhan tahun dengan sejumlah proyek.
"Kalau nggak ada izin kita nggak berani luncurin. Bukan jamannya lagi ya sekarang pengembang nggak ada izin jualan. Lalu untuk urban hub, sertifikat sudah kami pecah. Sebelum jual, legalitas sudah terpenuhi," terangnya.
Menurutnya di tengah banyak preseden negatif soal proyek mangkrak, pengembang juga harus mulai konservatif, membangun proyek yang sesuai dengan sasaran pasar. Sebelum menjual, pengembang wajib membaca perilaku konsumen supaya meminimalisir kelebihan pasokan."Misalnya di proyek atau kompleks kota mandiri kami nggak bangun mal tapi nantinya ada shopping street. Peritel maunya tempat yang bisa kumpul stand alone, terbuka," terangnya.