Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji polemik ihwal klaim atas atribusi sertifikat energi terbarukan atau renewable energy certificate (REC) antara produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
“Kami masih mempelajarinya terkait hal ini [atribusi REC],” kata Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana saat dihubungi, Senin (2/1/2023).
Kendati demikian, Dadan menggarisbawahi, perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) antara IPP dengan perusahaan setrum pelat merah biasanya sudah memperhitungkan pengembalian investasi pengembangan pembangkit.
“Pemahaman saya, perjanjian jual beli listrik itu sudah memperhitungkan pengembalian investasi,” tuturnya.
Seperti diketahui, potensi pangsa pasar jumbo dinilai menjadi peluang tambahan bagi dua pemasok listrik itu untuk menggaet pendapatan non-kelistrikan yang cukup besar di tengah komitmen sektor industri, dan bisnis memenuhi sertifikasi hijau mereka saat ini.
Kendati demikian, otoritas energi dan sumber daya mineral belum memiliki hitung-hitungan yang pasti terkait dengan potensi pasar dari transaksi sertifikat hijau tersebut. Kementerian ESDM masih mengikuti perkembangan transaksi tersebut yang belakangan mengalami peningkatan permintaan yang signifikan.
Baca Juga
“Kami belum melakukan perhitungan potensi [pasar] REC, Kementerian ESDM mengikuti perkembangannya,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengatakan produsen listrik swasta berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) berkepentingan untuk mendapat klaim atas atribusi sertifikat energi terbarukan yang dijual langsung ke pasar.
Priyandaru beralasan sertifikat itu menjadi cerminan biaya pengembangan pembangkit bersih yang telah diinvestasikan produsen listrik swasta.
Dengan demikian, klaim atas atribusi REC itu menjadi bagian dari upaya pengembalian investasi pembangkit hijau yang dikerjakan swasta mendatang.
“Sepanjang tidak diatur di dalam perjanjian jual beli listrik, maka itu adalah hak pengembang,” kata Priyandaru saat dihubungi, Senin (2/1/2023).
Hanya saja, kata dia, PLN belakangan justru berusaha untuk mengklaim sepenuhnya atribusi REC yang dijual kepada industri.
“PLN sekarang berusaha untuk melakukan amandemen PPA agar atribusi tersebut menjadi milik PLN,” kata dia.
Adapun, PLN sempat menerbitkan surat bernomor 43803/KEU.01.02/D01020300/2022 yang menegaskan kembali monopoli perusahaan setrum pelat merah itu untuk mengeluarkan REC pada 2 Agustus 2022 lalu.
PLN, lewat surat itu menegaskan, IPP tidak memiliki hak untuk menjual atribut energi terbarukan dalam bentuk REC secara langsung ke pasar. Alasannya, energi yang dihasilkan IPP telah dialirkan lewat jaringan PLN yang telah dibeli setiap kWh-nya sebesar Rp30 per kilowatt hour (kWh) mengacu pada PPA antara swasta dan PLN.
Sebelumnya, PLN melaporkan realisasi penjualan sertifikat energi terbarukan sudah menembus di angka 1.362.405 megawatt hour (MWh) sepanjang Januari hingga November 2022.
Torehan penjualan sertifikat hijau itu mengalami kenaikan signifikan mencapai 342,05 persen jika dibandingkan dengan pencatatan sepanjang 2021 di angka 308.201 MWh.
EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono mengatakan tren permintaan REC dari industri domestik belakangan tumbuh signifikan seiring dengan pulihnya penjualan listrik dari sektor industri dan bisnis pada akhir 2022 lalu.
Menurut Warsono, permintaan REC itu didominasi oleh sejumlah perusahaan yang berorientasi ekspor, jaringan internasional serta pangkalan data atau data center.
“Data center mungkin belum banyak tetapi permintaannya sudah cukup signifikan ada beberapa yang sudah kita layani,” kata Warsono saat ditemui Bisnis belum lama ini di Jakarta.