Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai salah satu subsektor andalan manufaktur, industri besi dan baja memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Dukungan pemerintah pun dinilai sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Widodo Setiadharmaji mengidentifikasi beberapa tantangan besar yang dihadapi industri ke depannya.
Di antaranya, utilisasi industri baja nasional masih rendah akibat tingginya barang impor. Mengutip data IISIA, hampir 50 persen atau 6,6 juta ton merupakan baja impor. Total produksi baja nasional pada tahun itu sebanyak 14 juta ton.
Jumlah baja yang diimpor oleh Indonesia tahun lalu naik sekitar 13,7 persen dari 5,7 juta ton pada 2020. Pada tahun tersebut, total baja yang diproduksi di dalam negeri sebanyak 12,9 juta ton.
"Utilisasi industri baja nasional masih sangat rendah akibat impor tinggi," kata Widodo dalam paparannya dalam acara Bisnis Indonesia Business Challenges (BIBC) 2023 pada Kamis (15/12/2022).
Masalah berikutnya adalah masih terindikasi maraknya praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan. Widodo mengatakan pengalihan kode HS bertujuan menghindari bea masuk antidumping sebesar 20 persen.
Baca Juga
Sebelum 2021, jelasnya, praktik pengalihan kode HS ini didorong oleh kebijakan tax rebate untuk ekspor produk baja tertentu dari Pemerintah China sebesar 9 persen – 13 persen.
Praktik pengalihan kode HS disebut mengakibatkan membanjirnya produk baja paduan impor dan memberikan dampak terhadap menurunnya utilisasi kapasitas produsen besi baja dalam negeri serta hilangnya penerimaan pajak barang impor bagi pemerintah.
Kemudian, kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan dimulai pada 2023-2025 dengan pelaporan jumlah emisi yang terkandung dalam produk tanpa pembayaran pajak karbonnya.
Pada fase pertama, jenis produk yang diberlakukan CBAM antara lain besi dan baja, bersamaan dengan aluminium, semen, pupuk, energi listrik.
Widodo menilai, kebijakan pajak karbon perlu diterapkan dengan hati-hati dengan memerhatikan kompetisi di kawasan regional dan global. Sebab, diperlukan investasi yang masif untuk benar-benar menghasilkan produksi green steel di industri besi dan baja.
Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemperin), setidaknya dibutuhkan total investasi di industri baja senilai US$14 miliar atau sekitar p 174,74 triliun hingga 2025.
Investasi itu diperlukan untuk membangun fasilitas smelter industri besi baja dengan total kapasitas 14 juta ton. Diperkirakan kebutuhan crude steel (baja kasar) dalam 10 tahun ke depan naik hampir dua kali lipat menjadi 19,12 juta ton.
"Maka, diperlukan dukungan pemerintah untuk menghadapi tantangan di berbagai aspek tersebut. Sebab, industri baja Amerika Serikat dengan usia ratusan tahun pun tidak bisa sustain tanpa dukungan pemerintah," ujarnya.
Widodo menambahkan, industri baja Negeri Paman Sam baru bisa mencapai utilisasi sebesar 80 persen setelah diberlakukannya tarif impor baja sebesar 25 persen.
Sementara di Indonesia, salah satu dukungan pemerintah yang diperlukan oleh industri baja nasional adalah pengendalian impor dengan memperbaiki pemberian quotai impor melalui penyusunan dan penerapan neraca komoditas baja nasional.