Bisnis.com, JAKARTA — Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menilai daya serap atau pembelian produk lanjutan industri timah dalam negeri masih rendah.
Hal itu kemungkinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan PT Timah Industri harus menanggung beban depresiasi atas idle capacity pabrik pengolahan tin chemical miliknya.
“Pembuatan tin chemical itu tidak bisa full capacity karena pembelinya terbatas, lalu umurnya itu 1 tahun sehingga terjadi pembatasan produksi akan tetapi beban depresiasi tetap berjalan terus,” kata Djoko saat dihubungi, Selasa (1/11/2022)
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan beban depresiasi atas idle capacity anak usaha PT Timah Tbk (TINS) itu mencapai Rp28,84 miliar sepanjang 2019 hingga 2021. Badan audit menengarai adanya kesenjangan yang lebar antara realisasi produksi dan kapasitas terpasang pabrik pengolahan tin chemical milik anak usaha TINS tersebut. Sementara, realisasi penjualan juga terus mengalami penurunan pada periode pemeriksaaan itu.
Djoko menampik temuan BPK itu sebagai potensi kerugian negara yang mesti ditanggung PT Timah Industri. Alasannya, pemerintah belum mampu memastikan pembeli tetap bagi setiap tin chemical yang dihasilkan dari setiap inisiatif hilirisasi yang dikerjakan setiap pabrik olahan lanjutan timah domestik.
“Pemerintah tidak bisa mencari offtaker untuk membeli tin chemical tadi, tetapi setelah hilirisasi produk jadi busuk tidak bisa dijual kena juga kerugian negara karena kalau dibuat banyak, maka dihambat dengan jumlah produksi disesuaikan,” tuturnya.
Baca Juga
Sekretaris Perusahaan PT Timah Abdullah Umar membenarkan ihwal hasil pemeriksaan BPK tersebut. Menurut Abdullah, kapasitas produksi PT Timah Industri sepanjang 2019 hingga 2021 belum memenuhi kapasitas terpasang. Konsekuensinya, produksi dari pabrikan hilir timah itu tidak memenuhi target sesuai kapasitas yang ditargetkan perseroan.
“Namun, dilihat dari peningkatan produksi di tahun 2019 sampai dengan 2021 yang mengalami peningkatan signifikan produksi dari 200 sampai 300 ton per bulan pada 2019, terus meningkat menjadi 600 sampai 700 ton per bulan,” kata Abdullah saat dihubungi, Selasa (1/11/2022).
Abdullah mengatakan, tren peningkatan produksi itu sudah mencapai 85 persen dari kapasitas terpasang sepanjang 2020 hingga 2021. Torehan itu, kata dia, juga turut dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan produk tin chemical di pasar domestik dan internasional.
“Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya permintaan produk tin chemical, baik dari dalam negeri dan luar negeri, beban depresiasi juga sudah mengalami penurunan,” tuturnya.
Perincian beban depresiasi atas idle capacity itu di antaranya pada 2019 sebesar Rp11,63 miliar, 2020 sebesar Rp12,28 miliar, dan 2021 sampai dengan November di angka Rp4,93 miliar.
Berdasarkan pemeriksaan BPK, produksi dan penjualan tin chemical menurun di bawah 3.000 ton pada 2018 disebabkan karena adanya perubahan regulasi emisi di China yang membuat produsen 2-EHTG tidak berproduksi. Kondisi itu berlanjut sepanjang 2019 hingga November 2021, produksi dan penjualan tin chemical mengalami peningkatan tetapi penjualan masih di bawah target yang ditetapkan dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP).
Berdasarkan data produksi, penjualan dan pengiriman logam timah dari PT Timah Tbk kepada PT Timah Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami kenaikan dari 2017 sampai dengan 2019. Hanya saja, tren itu justru mengalami penurunan setelah 2019 sampai 2021.
“Penjelasan dari Direktur Operasi PT Timah Tbk diketahui dalam periode tertentu, PT Timah Tbk memiliki keterbatasan produksi logam timah sehingga pengiriman kepada PT Timah Industri dilakukan setelah memenuhi komitmen pengiriman kepada pelanggan yang lebih prioritas,” tulis laporan BPK itu, seperti dikutip Bisnis, Selasa (1/11/2022).