Bisnis.com, JAKARTA- Krisis energi listrik yang terjadi di Inggris telah menekan daya beli hingga 8,3 persen sepanjang 2022. Meski tak bisa dibandingkan dengan kondisi surplus energi di Tanah Air, Indonesia dapat mengambil pelajaran penting dari krisis tersebut.
Sebelumnya, dikutip dari Bloomberg, Minggu (2/10/2022), kenaikan harga beruntun terjadi hingga tertinggi di angka £623 per MW/jam. Bahkan, menurut analisis Deustche Bank, inflasi harga untuk gas dan listrik diperkirakan mencapai 80 persen.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kondisi krisis listrik yang terjadi di Inggris disebabkan kombinasi polemik yang terjadi secara beturut-turut.
"Pertama karena ada pemulihan dari pandemi menuju endemi yang mana kebutuhan energi naik. Kedua, sedang ada masalah geopolitik rusia-ukraina yang berimbas pada pasokan gas pada mereka," kata Komaidi kepada Bisnis, Minggu (2/10/2022).
Ketiga, menurut Komaidi hal ini diperparah dengan keputusan untuk meninggalkan fosil terutama batu bara sehingga menyebabkan harga listrik menjadi jauh lebih tinggi.
Dalam hal ini, kebijaksanaan dalam perencanaan energi terutama saat implementasi transisi energi merupakan hal terpenting yang perlu dilakukan suatu negara dalam kondisi tersebut.
Baca Juga
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan ketergantungan akan negara lain membuat ketahanan dan kemandirian energi menjadi tidak kuat.
Diketahui, Inggris selama ini sangat bergantung pada pasokan energi dari Rusia. Namun, di tengah gencaran perang Rusia-Ukraina, yang masih memanas dan sanksi-sanksi yang dilakukan Eropa untuk Rusia, maka hal tersebut berdampak pada suplai energi.
Indonesia sendiri untuk pasokan listrik berada dalam kondisi yang mandiri karena surplus energi dan energy resources yang melimpah baik batu bara maupun sumber EBT lainnya.
"Hal ini karena sumber energi primer kita berasal dari batubara yang notabene jumlahnya masih cukup besar," katanya dihubungi terpisah.
Meski begitu, menurutnya Indonesia tetap harus memperhatikan sekaligus mencegah terjadinya hal serupa dengan mengoptimalisasi potensi energi dalam negeri sehingga tidak bergantung pada impor termasuk EBT dan juga pengembangan energi nuklir.
"Sejauh ini kita masih cukup kuat ya. Apalagi untuk listrik malah dalam posisi yang over suplai. Sehingga kita lebih handal dalam ketenagalistrikan," tandasnya.