Bisnis.com, JAKARTA - Rakyat Inggris semakin teperangkap dalam krisis energi listrik yang disebabkan ketergantungan pasokan energi dari Rusia di tengah perang dengan Ukraina yang masih memanas.
Dikutip dari The Guardian, Rabu (28/9/2022) berdasarkan analisis Interntional Monetary Fund (IMF) dampak krisis telah mempengaruhi harga konsumsi rumah tangga sehingga menyebabkan penurunan 8,3 persen daya beli sepanjang 2022.
Tagihan energi yang naik ikut mendorong biaya komoditas lain melonjak. Menurut Analisis Deutsche Bank, inflasi harga konsumen untuk gas dan listrik di Inggris diperkirakan mencapai 80 persen.
Kondisi di Inggris diperparah dengan harga di toko-toko yang meroket ke rekor tertinggi pada pada bulan ini. Kenaikan harga ini tentu semakin memukul para konsumen yang sudah terkena tagihan sangat tinggi dari tarif listrik dan sewa tempat tinggal.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (28/9/2022), Konsorsium Ritel Inggris mengungkapkan inflasi harga toko meningkat menjadi 5,7 persen bulan September, melampaui rekor kenaikan sebelumnya sebesar 5,1 persen pada bulan Agustus.
Di tengah krisis listrik yang dihadapi Inggris saat ini, kondisi pasokan listrik di Indonesia justru dalam keadaan surplus. Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana.
Baca Juga
Dia mengatakan hingga akhir 2022 akan ada kelebihan pasokan daya listrik atau surplus listrik PLN sebesar 6 gigawatt (GW) hingga 7 MW.
Tak Bisa Dibandingkan
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan kondisi krisis listrik yang di alami Inggris saat ini tidak dapat dibandingkan dengan Indonesia yang justru mengalami surplus pasokan energi.
"Energi Inggris sangat tergantung pasokan dari Rusia, lantaran tidak punya sumber energi, sedangkan di Indonesia punya energy resources baik batu bara maupun sumber EBT yang melimpah," kata Fahmy saat dihubungi Bisnis, Rabu (28/9/2022)
Menurutnya, kemungkinannya sangat kecil bagi Indonesia mengalami kondisi krisis energi yang sama seperti Inggris saat ini lantaran sumber pasokan yang memadai.
Di samping itu, melihat suplai yang melimpah, pemerintah sempat mewacanakan konversi kompor listrik yang akan dilakukan tahun ini, meski akhirnya batal.
Kementerian ESDM beberapa waktu lalu mendorong PT PLN (Persero) untuk melakukan langkah efisiensi operasional dan memacu penjualan tenaga listrik dengan lebih agresif.
Fahmy mengatakan, program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik memang upaya yang cukup tepat. Namun, jika program itu dimaksudkan untuk mengalihkan beban oversupply listrik dari PLN ke masyarakat, hal itu tidak bisa diaminkan.
"Program konversi LPG 3 kg tidak akan mencukupi hanya dengan kompor listrik. Perlu dikembangkan bauran energi terdiri gasifikasi batu bara menjadi gas tabung, Jaringan Gas, kompor listrik LPG Non-Subsidi," tegasnya.
Lebih lanjut, Fahmy mengatakan penundaan program kompor listrik cukup realistis mengingat masih banyak masalah teknis yang belum teratasi. Beberapa di antaranya yaitu pengguna kompor listrik harus pelanggan dibatas 1.300 VA dan masalah pemadaman di berbagai daerah akan menjadi hambatan bagi kompor listrik.
"Untuk mengatasi oversupply, PLN harus melakukan renegoisasi dengan IPP bahwa PLN hanya akan membayar penjualan setrum dari IPP yang dipakai saja, sedangkan yang tidak dipakai, PLN tidak harus membayar," ungkapnya.
Tarif Listrik
Naiknya tarif listrik membuat warga Inggris harus mengencangkan ikat pinggang demi membayar tagihan listrik. Untuk diketahui, otoritas energi di Inggris akan menaikkan tarif listrik dari 1.971 poundsterling menjadi 3.549 poundsterling atau setara Rp59,85 juta tiap tahunnya mulai Oktober 2022.
Berbeda dengan Inggris yang menaikkan tarif listriknya, pemerintah Indonesia justru menahan kenaikan tarif listrik non-subsidi hingga akhir 2022.
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana mengatakan realisasi parameter ekonomi makro rata-rata Mei sampai dengan Juli 2022 mengalami sedikit kenaikan jika dibandingkan dengan triwulan ketiga 2022.
Dengan demikian, kata Dadan, tarif listrik triwulan keempat seharusnya mengalami kenaikan. Namun, dia menegaskan, pemerintah memutuskan tarif listrik triwulan IV/2022 untuk pelanggan non-subsidi tetap mengacu pada tarif triwulan III/2022 atau tidak mengalami kenaikan.
“Kementerian ESDM juga mendorong agar PT PLN (Persero) terus berupaya melakukan langkah-langkah efisiensi operasional dan memacu penjualan tenaga listrik secara lebih agresif," kata Dadan melalui siaran pers, Kamis (27/9/2022).
Dia berharap realisasi parameter ekonomi makro dapat mengalami penurunan tahun depan sehingga biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dapat kembali ke posisi normal. Dengan demikian, tarif tenaga listrik dapat kembali disesuaikan.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan PLN telah menaikkan tarif listrik untuk golongan tertentu. Adapun, saat ini pelanggan PLN terdiri dari 37 golongan tarif, di mana, penyesuaian tarif listrik PLN hanya berlaku untuk 5 golongan pelanggan non-subsidi, yakni pelanggan rumah tangga 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) dan golongan pemerintah (P1, P2 dan P3).
Sementara untuk pelanggan bisnis dan industri, termasuk pelanggan subsidi tidak mengalami kenaikan tarif listrik.
Kenaikan tarif listrik berkisar antara 17,64 persen hingga paling tinggi 36,61 persen. Penyesuaian ini mengikuti mekanisme tarif adjustment atau penyesuaian tarif per 3 bulan bagi pelanggan non-subsidi dengan mempertimbangkan beberapa faktor, mulai dari kurs hingga harga batu bara.
Untuk pelanggan rumah tangga R2 (3.500 VA-5.500 VA) tarif listriknya naik 17,63 persen dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Perkiraan kenaikan tagihan rekeningnya rata-rata sebesar Rp111.000 per bulan.
Kemudian, pelanggan rumah tangga R3 (6.600 VA-ke atas) tarif listriknya naik sebesar 17,63 persen dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi sebesar Rp 1.699,53 per kWh. Perkiraan kenaikan tagihan rekeningnya rata-rata Rp 346.000 per bulan.
Selanjutnya, pelanggan pemerintah P1 (6.600 VA-200 kVA) tarif listriknya naik sebesar 17,63 persen dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp1.699,53 per kWh. Perkiraan kenaikan tagihan rekeningnya rata-rata Rp 978.000 per bulan.
Pelanggan pemerintah P2 (200 kVa ke atas) tarif listriknya naik sebesar 36,61 persen dari Rp1.114,74 per kWh menjadi Rp1.522,88 per kWh. Perkiraan kenaikan tagihan rekeningnya rata-rata Rp 38,5 juta per bulan.
Sementara itu, pelanggan pemerintah P3 Tarif listriknya disesuaikan dari Rp1.444,7 kWh menjadi Rp1.699,53 per kWh atau naik sebesar 17,64 persen. Perkiraan kenaikan tagihan rekeningnya rata-rata Rp271.000 per bulan.
Adapun, pemerintah berkomitmen tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan golongan bersubsidi 450 - 900 VA, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan.