Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diprediksi jauh lebih tinggi dibandingkan China.
Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,1 persen, sedangkan China diprediksi tumbuh sebesar 2,8 persen di 2022.
“China yang sebelumnya memimpin proses pemulihan kawasan ini diproyeksikan tumbuh sebesar 2,8 persen pada 2022,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (27/9/2022).
Aaditya menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini ditopang oleh pulihnya daya beli masyarakat hingga kinerja investasi. Selain itu, kebijakan ekonomi makro Indonesia dinilai sangat kuat sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China yang melambat, disebabkan oleh kebijakan zero Covid yang diterapkan China dalam rangka memerangi kasus Covid di negaranya.
Di lain sisi, tingkat inflasi di sejumlah kawasan Asia Timur dan Pasifik relatif rendah dibandingkan negara lainnya, terutama Indonesia dan Malaysia yang menikmati booming harga komoditas.
Baca Juga
Kendati demikian, Bank Dunia dalam laporannya memperingatkan akan tantangan yang dihadapi Asia Timur dan Pasifik kedepannya, imbas dari pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan oleh sejumlah negara maju.
“Modal asing yang mengalir keluar dari pasar negara berkembang mengarah ke depresiasi mata uang pasar negara berkembang, yang dapat melampaui target inflasi,” tulis laporan tersebut.
Bank Dunia juga memberikan peringatan terhadap sejumlah risiko terkait utang swasta non keuangan yang jatuh tempo pada tahun ini dan tahun depan.
Lembaga keuangan internasional itu mengatakan, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, rentan terhadap depresiasi nilai tukar lantaran memiliki utang swasta dengan mata uang asing tertinggi dibandingkan utang pemerintah.
“Perusahaan ini memiliki porsi utang jatuh tempo dalam bentuk pinjaman sindikasi yang lebih besar daripada di obligasi, dan setidaknya 60 persen dari utang yang akan jatuh tempo dalam mata uang asing membuat perusahaan khususnya rentan terhadap depresiasi nilai tukar,” catat laporan tersebut.