Bisnis.com, JAKARTA — Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kian mengerucut. Ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk menunda rencana kenaikkan harga BBM subsidi jenis pertalite dan solar, di tengah inflasi domestik yang mencapai 4,94 persen secara tahunan, tertinggi sejak Oktober 2015.
Bhima beranggapan manuver pemerintah yang belakangan ingin menaikkan harga BBM murah itu justru berpotensi menggiring Indonesia masuk pada fase stagflasi atau perlambatan ekonomi. Konsekuensinya, rencana pemulihan ekonomi nasional bisa molor tiga hingga lima tahun selepas pandemi Covid-19.
“Imbasnya permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar,” kata Bhima saat dihubungi, Minggu (21/8/2022).
Berdasarkan catatan Celios, serapan subsidi energi domestik baru mencapai Rp88,7 triliun sepanjang Januari sampai Juli 2022. Di sisi lain, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 mencatatkan surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari produk domestik bruto (PDB) periode Juli.
Artinya, Bhima menggarisbawahi, pemerintah turut menikmati kenaikkan harga minyak mentah di pasar internasional. Dia berharap pemerintah dapat mengalokasikan surplus APBN itu untuk menambal beban pada subsidi energi tahun ini.
“Pemerintah juga bisa secara paralel pangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di Pemda dan pemerintah pusat,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dari APBN diperkirakan bisa bengkak hingga Rp550 triliun apabila PT Pertamina (persero) tidak diizinkan menaikkan harga solar dan pertalite oleh pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan lebarnya gap antara harga keekonomian dan harga jual solar dan pertalite pada saat harga minyak dunia tinggi mendorong perlunya penyesuaian harga BBM. Terlebih, terang Luhut, saat subsidi BBM yang ditopang oleh kantong negara saat ini sudah mencapai Rp502 triliun.
"Hingga saat ini, APBN menanggung subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp502 triliun. Tanpa ada penyesuaian kebijakan, angka ini bisa meningkat hingga lebih dari Rp550 triliun pada akhir tahun," katanya melalui keterangan resmi, Minggu (21/8/2022).