Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi meminta pemerintah untuk menekan ongkos eksplorasi dan pengeboran panas bumi untuk menjamin keekonomian harga jual listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Priyandaru mengatakan harga jual listrik dari sektor panas bumi selama ini tidak kompetitif yang belakangan berdampak negatif pada minat investasi pada energi alternatif tersebut.
Dia menuturkan terjadi kesenjangan yang lebar antara biaya pengeboran dengan harga beli listrik yang dipatok PLN. Kesenjangan itu berasal dari harga beli listrik yang dipatok PLN disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Konsekuensinya, internal rate of return dari kegiatan eksplorasi panas bumi dalam negeri tidak kompetitif.
“Dengan harga beli dan kemampuan PLN itu seharusnya pemerintah yang masuk apapun caranya bisa melalui subsidi, insentif atau program-program lainnya yang sifatnya menurunkan ongkos dari panas bumi,” kata Priyandaru melalui sambungan telepon, Selasa (28/6/2022).
Belakangan, Priyandaru mengatakan, pemerintah telah mengambil inisiatif untuk menanggung risiko pengeboran di awal lewat skema pengeboran pemerintah atau government drilling yang diharapkan dapat menurunkan biaya pokok produksi atau BPP dari listrik berbasis panas bumi.
Di sisi lain, dia mengatakan, sebagian besar pelaku usaha juga terus berupaya untuk meningkatkan efisiensi pengoperasian untuk dapat memperlebar margin dari harga pembelian listrik yang tetap dipatok konservatif kendati asumsi makro ekonomi ditetapkan tinggi menyusul krisis energi, pangan dan logistik tahun ini.
Baca Juga
“Hingga saat ini aturan pembelian listrik belum mengacu pada harga keekonomian tetapi besaran BPP, sehingga itu yang menghambat pengembangan panas bumi saat ini, mana ada pengembang yang mau rugi,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi investasi sub sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi atau EBTKE baru mencapai US$0,58 miliar atau 14 persen dari target 2022 yang dipatok sebesar US$3,98 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan rendahnya realisasi investasi itu disebabkan karena molornya pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang direncanakan rampung pada awal tahun ini. Selain itu, Dadan menggarisbawahi, kebijakan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap yang sempat terkendala turut memengaruhi capaian investasi yang relatif minim hingga pertengahan tahun ini.
“Dari target hampir US$4 miliar basisnya Perpres tentang tarif EBT bisa keluar di awal tahun juga kebijakan PLTS Atap bisa smooth berjalan,” kata Dadan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (6/6/2022).