Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bisa hanya 4,6 persen jika terjadi tekanan besar dari luar negeri. Namun, dalam kondisi ideal, pertumbuhannya bisa mencapai 5,1 persen.
Ekonom utama World Bank untuk Indonesia dan Timor Leste Habib Rab menjelaskan bahwa penurunan proyeksi ekonomi global akan berdampak terhadap Indonesia. Tingginya harga energi dan tren kenaikan inflasi akan turut memengaruhi perekonomian Indonesia.
Hal yang paling menjadi perhatian Habib adalah adanya risiko penurunan permintaan ekspor komoditas akibat perlambatan ekonomi global, yang akan berdampak terhadap penerimaan Indonesia. Kondisi itu menurutnya dapat memaksa realokasi fiskal, dari belanja yang mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi subsidi—yang mungkin tidak tersalurkan dengan baik.
"Dalam skenario semacam ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa saja lebih rendah dari yang telah diantisipasi dan mencapai 4,6 persen pada 2022, dan 4,7 persen pada 2023, yang sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia," ujar Habib dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects June 2022, Selasa (22/6/2022).
Meskipun begitu, dia menyatakan bahwa tingginya harga komoditas beberapa waktu ini membawa berkah bagi Indonesia atas tingginya penerimaan. Tingginya harga sawit dan batu bara mampu membantu konsumsi di dalam negeri dan menopang neraca perdagangan, karena ekspor lebih tinggi dari impor.
Kenaikan penerimaan pun, menurut Habib, membuat Indonesia mampu menggelontorkan subsidi energi untuk menjaga inflasi dari dampak kenaikan harga komoditas. Dia menyebut bahwa langkah tersebut berhasil, karena tingkat inflasi masih berada dalam target pemerintah, yakni 3±1 persen atau 2—4 persen.
Baca Juga
Hal tersebut membuat Indonesia masih berpeluang mencatatkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, bahkan berlanjut pada tahun depan.
"Penurunan pertumbuhan global akan berdampak kepada Indonesia. Namun, tidak seperti negara-negara lain, kami proyeksikan pertumbuhan PDB meningkat dari 3,7 persen pada 2021 menjadi 5,1 persen pada 2022, meningkat menjadi 5,3 persen pada 2023," ujar Habib.