Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menyusut menjadi sekitar US$5,01 miliar pada Mei 2022 jika dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$7,56 persen.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Faisal Rachman menyampaikan, kinerja ekspor di tengah melonjaknya harga komoditas global tetap mendukung surplus perdagangan yang besar. Namun, impor mengimbangi ekspor seiring pemulihan ekonomi domestik yang semakin cepat seiring dengan pelonggaran PPKM, dan harga minyak yang melonjak tinggi.
Pertumbuhan ekspor, kata Faisal, tetap solid meskipun ada larangan ekspor minyak sawit yang dilakukan pemerintah pada akhir April lalu.
"Kami memperkirakan ekspor Indonesia pada Mei 2022 akan tumbuh 46,35 persen (year-on-year/yoy) dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,76 persen yoy pada April 2022. Harga batubara naik 289 persen yoy," kata Faisal melalui keterangan tertulisnya, Selasa (14/6/2022).
Sementara itu, PMI Manufaktur China yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, naik ke 49,1 pada Mei 2022 dari level terendah di 46,0 pada April 2022, yang didukung oleh pelonggaran penguncian Shanghai.
Kemudian, pelarangan ekspor kelapa sawit yang diberlakukan Indonesia pada akhir April lalu diperkirakan berdampak pada kinerja ekspor sekitar US$2miliar hingga US$2,5 miliar.
Baca Juga
Dari sisi impor, Bank Mandiri memprediksi impor Indonesia pada Mei 2022 akan meningkat sebesar 38,92 persen yoy dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 21,97 persen yoy pada April 2022. Hal tersebut didukung oleh dampak musiman Lebaran yang secara substansial meningkatkan mobilitas dan permintaan.
"PMI Manufaktur Indonesia terus berada di wilayah ekspansi. Harga minyak juga tetap tinggi, meningkat 65 persen yoy," ujar Faisal.
Di lain sisi, saldo transaksi berjalan diperkirakan akan mencatat surplus di 2022. Faisal menjelaskan, surplus perdagangan pada neraca transaksi berjalan tahun ini diprediksi menyusut lantaran impor akan mengikuti ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik.
Kendati demikian, tren kenaikan harga komoditas masih berlanjut, mendukung surplus perdagangan dan surplus transaksi berjalan untuk beberapa waktu.
Adapun faktor yang membatasi surplus tersebut adalah lonjakan harga minyak lantaran Indonesia merupakan net importir minyak dan meningkatnya risiko stagflasi atau resesi-inflasi di beberapa ekonomi utama dunia yang dapat melemahkan permintaan ekspor.
Oleh karena itu, Faisal memperkirakan neraca transaksi berjalan pada 2022 akan mencatat surplus kecil sebesar 0,03 persen dari PDB, dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 0,28 persen pada 2021.