Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berisiko melambat pada kuartal II/2022. Diperkirakan, pertumbuhan industri TPT kuartal kedua tahun ini berada di bawah 10 persen.
Sekadar informasi, industri TPT Tanah Air mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,45 persen pada kuartal pertama tahun ini yang salah satunya terkerek karena meningkatnya permintaan pada momen lebaran.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta mengatakan kemungkinan perlambatan adalah dampak dari dibuka keran impor bahan baku di tingkat pedagang.
Diberlakukan sejak 2 bulan lalu, Redma mengungkapkan sudah mulai terjadi penurunan permintaan terhadap produk TPT lokal dalam kurun 2 pekan terakhir karena barang impor disinyalir sudah mulai membanjiri pasar domestik.
"Dalam 2 pekan terakhir permintaan untuk produk TPT lokal mulai turun. Bahkan ada informasi para produsen mengubah izin impornya menjadi izin impor pedagang," kata Redma kepada Bisnis, Senin (6/6/2022).
Menurutnya, Indonesia tidak perlu mengimpor bahan baku tekstil karena kapasitas produksi nasional jauh di atas tingkat konsumsi. Total konsumsi TPT nasional, lanjut Redma, sekitar 2 juta ton.
Baca Juga
Sementara itu, kapasitas produksi industri tekstil Tanah Air dari hulu ke hilir lebih dari 10 juta ton.
Selain itu, sambungnya, dibukanya keran impor bahan baku tekstil untuk pedagang tersebut juga akan berpengaruh bagi emiten tekstil seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex (SRIL).
Sebab, lanjutnya, perusahaan tersebut merupakan produsen produk TPT lokal yang terancam oleh banjirnya barang-barang luar negeri seiring dengan dibuka izin impor di level pedagang oleh pemerintah.
Sebagai informasi, saat ini tingkat utilisasi pabrik Sritex berada di kisaran 60 persen. Maksimal, emiten tersebut dapat mengerek tingkat utilisasi nya hingga ke level 70 persen.
"Kami sudah mengirimkan surat pada akhir April 2022 kepada Kementerian Perdagangan. Namun, masih belum ada respons," kata Redma.