Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai kebijakan Kementerian Perdagangan pada kuartal II/2022 sangat kontraproduktif karena membuka keran impor tekstil untuk importir umum (API-U) untuk memenuhi bahan baku industri kecil menengah (IKM).
Padahal, selama 3 kuartal terakhir, asosiasi menilai industri dalam negeri sangat mampu menyuplai bahan baku untuk IKM bahkan saat puncak kenaikan permintaan pada kuartal I/2022.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan membanjirnya produk impor baik yang legal maupun unprosedural sangat sarat lobi-lobi importir yang berkepentingan.
“Ini alasan yang agak aneh, karena selama 3 quarter terakhir telah terbukti bahwa industri dalam negeri sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM dan puncaknya di Q1 2022 ketika permintaan naik, kami sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM,” kata Redma dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/5/2022).
Saat ini pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil pada kuartal I/2022 mencapai 12,45 persen (yoy). Menurut Redma, capaian pertumbuhan industri periode ini utamanya didorong oleh penjualan dalam negeri yang meningkat tajam sebagai dampak momen lebaran dan investasi baru dalam rangka penambahan kapasitas produksi dari hulu sampai hilir, selain ada tambahan dari neraca perdagangan yang kian membaik.
“Ya impor sih boleh-boleh saja, tapi jangan hancurkan industri dalam negeri, suplai dalam negeri kan sudah terbukti mencukupi, kenapa harus impor?,” ujar Redma
Baca Juga
Kemudian, Redma menjelaskan kebijakan ini menjadi kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dan memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
“Kami sangat mengkhawatirkan kinerja sektor ini di quarter 2 dan seterusnya, terlebih ada tekanan dari sisi biaya yaitu kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik dan kenaikan PPN,” ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Ian Syarif mengatakan sebagian besar barang impor yang beredar di pasar baik grosir maupun online melakukan penjualan tanpa pembayaran PPN sehingga produk dalam negeri kalah saing.
“Bagaimana bisa kami menaikan harga jual kalau banyak barang impor yang jual tanpa PPN,” katanya.
Ian berharap agar pengawasan terhadap barang impor juga diperketat agar tercipta level playing field yang sama di pasar domestik.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut lonjakan jumlah impor benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial demi mendukung industri dalam negeri.
Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Moga Simatupang mengatakan, impor benang yang disetujui pihaknya selama ini sudah sesuai aturan. “Jadi pengusaha mengajukan permohonan impor ya kami approve. Kan benang itu masuk untuk industri bukan untuk layangan. Industri itu untuk tujuan ekspor. Salahnya di mana?” ungkap Moga saat dihubungi Bisnis, Rabu (27/4/2022).
Selain itu, dia pun meragukan maraknya impor benang dari beberapa negara karena importir memanipulasi Harmonized System (HS) sehingga tidak terdeteksi oleh Bea Cukai. Moga Simatupang mengatakan memanipulasi HS hampir tidak mungkin terjadi lantaran pengawasan bea cukai yang ketat.
“Info dari mana itu HS dimanipulasi, pasti ditolak di Bea Cukai. HS bener aja kadang ditolak oleh bea cukai karena serat beda. Itu harus dipastikan ke Bea Cukai. Ngarang aja itu. Negara ini udah jelas ada aturannya,” ujar dia.