Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Pangan Tinggi, CSIS: Lindungi Ekonomi Masyarakat, Bukan Harga

CSIS menilai pemerintah perlu melindungi ekonomi masyarakat dibandingkan dengan proteksi harga pangan.
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memberikan rekomendasi yang bisa dijalankan pemerintah di tengah tren kenaikan harga komoditas pangan akibat dampak situasi global. Pertama, pemerintah perlu memberikan perlindungan sosial (sosial protection) kepada masyarakat yang membutuhkan.

Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Adinova Fauri mengatakan perlindungan sosial yang bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan memberikan subsidi atau bantuan langsung kepada masyarakat.

“Jadi tren kenaikan harga bukan memproteksi harga tapi langsung ekonomi masyarakat, kesejahteraan masyarakat dari lonjakan harga yang bakal terjadi,” ujar Adinova dalam CSIS Media Briefing: Ancaman Kenaikan Harga Pangan di Indonesia, Senin (30/5/2022).

Dikatakannya, memang perlu ada cara lain untuk menutupi beban subsidi atau bantuan langsung tersebut. Misalnya menambah pajak ekspor untuk komoditi yang sedang melambung agar subsidi yang diberikan secara langsung kepada masyarakat tidak membebani fiskal negara.

“Lalu, ketiga, supply side-memastikan ketersediaan pasokan komoditas. Impor menjadi alternatif untuk menekan harga yang meningkat, menurunkan risiko ketika di pasar global. Agar ini dilakukan cepat yaitu harus melakukan reformasi tata Kelola kebijakan pangan. Misalnya ketika ada kecenderungan harga pangan naik maka impor otomatis dilakukan,” ujarnya.

Kemudian keempat, lanjut Adinova, langkah selanjutnya untuk jangka panjang, yakni perlunya upaya inovasi dan percepatan adopsi teknologi untuk petani dan pekebun. Supaya, meski tanpa penambahan lahan produksi pertanian tetap bisa ditingkatkan.

Seperti diketahui, harga komoditas memang sudah meningkat dengan adanya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Namun hal ini diperparah dengan adanya perang Rusia dan Ukraina. Pada awal tahun ini harga gandum naik 52 persen dan jagung 31 persen.

“Ada produksi yang terhambat, tidak bisa melakukan ekspor, terutama untuk barang-barang ekspor utama Ukraina. Lalu ada penurunan ekspor dari negara-negara lain juga. ini semua memperparah harga komoditas di pasar global,” papar Adinova.

Hal ini, kata dia, membuat banyak pemerintah mengambil kebijakan restriksi, tujuannya melindungi pasar domestiknya, kebutuhan domestiknya. Hal ini menambah tekanan pada harga komoditas dan harga-harga pangan internasional.

“India melarang ekspor gandum, kemudian melarang ekspor gula dengan limitasi dan banyak negara-negara melakukan itu. Seperti Turki untuk minyak zaitun dan juga Indonesia yang sempat melarang ekspor CPO,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper