Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengangguran Tertinggi dari Lulusan SMK, Apa Kabar Sistem Vokasi?

Bukan hanya mengatasi pengangguran, sistem vokasi akan mengasah kompetensi seseorang sesuai kemampuannya.
Beberapa pekerja berjalan di luar pagar lokasi yang secara resmi disebut sebagai pusat edukasi vokasional di Dabancheng, Xinjiang, Wilayah Otonomi Uighur, China, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Thomas Peter
Beberapa pekerja berjalan di luar pagar lokasi yang secara resmi disebut sebagai pusat edukasi vokasional di Dabancheng, Xinjiang, Wilayah Otonomi Uighur, China, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Thomas Peter

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran terbuka per Februari 2022 sebanyak 8,40 juta orang atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,83 persen dengan lulusan SMK jadi yang terbanyak.

Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan bahwa TPT dari tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih jadi yang paling tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya.

Mengutip dari rilis BPS, TPT pada Februari 2022 mempunyai pola yang hampir sama dengan Februari 2021. Pada Februari 2022, TPT dari tamatan SMK masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 10,38 persen. Sementara TPT yang paling rendah adalah pada pendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah, yaitu sebesar 3,09 persen.

“TPT terendah ada di tingkat SD. Tingkat SD ke bawah bersedia menerima pekerjaan apapun, sementara pada jenjang pendidikan tinggi, biasanya memilih-milih pekerjaan sehingga TPT masih tinggi,” jelas Margo dalam rilis BPS, Senin (9/5/2022).

Melihat data dalam tiga tahun terakhir, jumlah tamatan SMK dan sederajat selalu menjadi yang tertinggi dalam menyumbang angka pengangguran. Padahal, SMK termasuk dalam vokasi yang seharusnya para lulusan SMK sudah siap kerja dengan keterampilannya.

Ketua bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Antonius J. Supit melihat bahwa ada yang salah dengan kondisi tersebut.

“Ada indikasi bahwa SMK kita belum berjalan efektif. SMK ini sekolah vokasi, Kemendikbud harus mengevaluasi, apakah SMK ini sudah berjalan sesuai dengan sistem vokasi yang benar?,” ujar Anton, Senin (9/5/2022).

Anton menjelaskan bahwa setidaknya ada lima kriteria sistem vokasi yang benar. Pertama, persentase belajar di lapangan lebih tinggi dari teori (70:30). Kedua, harus ada pengajar di pabrik/industri ketika siswa/I magang. Ketiga, harus ada kurikulum di pabrik, bukan di sekolah. Keempat, kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan industri. Kelima, wajib ada monitoring dan sertifikasi.

“Artinya, kalau pengangguran masih tinggi dari SMK, something wrong dengan pengelola SMK tersebut secara nasional, dalam hal ini Kemendikbud. Itu harus diperbaiki,” lanjut Anton.

Anton melanjutkan, bahwa sebenarnya pada awal pemerintahan Jokowi di periode pertama sudah memilih sistem vokasi, sayangnya sistem ini tidak dijalankan secara benar. Menurut dia, pelaksanaan sistem vokasi harus menjamin kualitas dan tingkat yang sama secara nasional sehingga tidak ada ketimpangan.

“Kenapa tidak terjadi? Karena koordinasi kita sangat lemah,” ungkap Anton.

Pada dasarnya, sistem vokasi di negara maju sudah sangat biasa dan menjadi economy strategic. Bukan hanya mengatasi pengangguran, sistem vokasi akan mengasah kompetensi seseorang sesuai kemampuannya. Bagi Anton, satu hal yang harus diingat untuk meningkatkan semangat dan keefektifan vokasi, yaitu dengan memberi uang saku bagi para pemagang.

Anton berharap Indonesia memiliki komite vokasi nasional seperti Jerman dan Malaysia sehingga kebijakan, kurikulum dan persiapan sekolah dan tempat praktek dapat diatur secara merata satu Indonesia.

“Negara lain sudah punya seperti di Jerman dan Malaysia. Kita nggak punya, jadi berjalan sendiri-sendiri. Kenyataannya rencana Jokowi mencanangkan program vokasi tidak berjalan dengan baik,” lanjut Anton.

BPS mencatat per Februari 2022 jumlah angkatan kerja sebanyak 144,01 juta orang atau naik 4,20 juta orang secara tahunan. Sementara terjadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 4,55 juta orang. Dari angka tersebut pun terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap masih lebih sedikit dari jumlah angkatan kerja baru.

Meski tercatat terjadi penurunan TPT, para lulusan SMK ini juga harus bersaing dengan angkatan kerja baru dari pendidikan yang lebih tinggi. Ekonom Centre of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam melihat bahwa Indonesia punya beban berat dalam penyerapan tenaga kerja.

“Pulihnya ekonomi kan utamanya akan menyerap lagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Kemudian menyerap juga angkatan kerja baru, jadi otomatis, sebenarnya jumlah pengangguran kita itu sulit berkurang karena memang ada tambahan angkatan kerja baru itu karena tertahan pandemi,” jelas Piter, Senin (9/5/2022). 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper