Bisnis.com, JAKARTA - Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia Ajib Hamdani menyampaikan sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain dapat menekan inflasi.
Memasuki kuartal II/2022, perekonomian Indonesia memiliki beberapa catatan, bahkan beberapa kebijakan pemerintah perlu dikaji kembali, apakah kebijakan yang dikeluarkan berpihak kepada kesejahteraan rakyat atau tidak.
"Karena kebijakan-kebijakan pemerintah ini, akan memberikan kontribusi yang signifikan atas dua indikator utama ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan inflasi," kata Ajib dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/4/2022).
Ajib sendiri mengibaratkan pertumbuhan ekonomi sebagai 'malaikat', sedangkan inflasi sebagai 'hantu' masyarakat. Bagaimana maksudnya?
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan menaikkan harga komoditas-komoditas yang menjadi konsumsi mendasar masyarakat seperti bensin misalnya.
Meski telah diberlakukan, nyatanya kedua kebijakan tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, baik pelaku usaha, akademisi hingga masyarakat luas.
Baca Juga
Kondisi-kondisi ini kata Ajib merupakan faktor pertama dan utama inflasi, yaitu kenaikan atas biaya produksi. "Faktor kedua yang memberikan kontribusi terhadap inflasi ini adalah tingginya permintaan," ujarnya.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta penduduk, merupakan demand yang besar dalam sebuah ekosistem bisnis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika konsumsi atas jumlah penduduk ini memberikan kontribusi lebih dari 57 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dengan stabilnya pasar domestik ini, menurutnya, faktor pandemi Covid-19 tak berpengaruh secara signifikan, lantaran konsumsi terus terjaga.
Sementara, dalam konteks pertumbuhan beberapa indikator utama menunjukkan hal yang positif. Pertama, pendapatan perkapita Indonesia yang menunjukkan tren membaik.
Meskipun dihantam pandemi, PDB Indonesia di 2020 mencapai Rp15.434,2 triliun dan naik menjadi Rp16.970,8 triliun pada 2021. Kemudian di 2022, kata Ajib, menjadi momentum positif angka PDB dan pendapatan perkapita terus terdongkrak.
"Indikator kedua yang perlu dicermati adalah kemiskinan. Karena untuk membuat lompatan ekonomi dari negara berkembang menjadi negara maju, tingkat kemiskinan harus terus diturunkan," ungkapnya.
Berdasarkan data September 2021, rasio kemiskinan Indonesia masih berada di kisaran 9,7 persen. Rasio yang single digit tersebut harus terus dipertahankan di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Program-program yang diadakan pemerintah seperti jaminan sosial, bantuan langsung tunai dan lainnya, menjadi program jangka pendek yang dapat diandalkan guna menjaga kemiskinan dalam rasio yang sehat.
Indikator ketiga adalah tingkat pengangguran. Dia mengatakan, rasio sebesar 6,49 persen pada 2021 menjadi lampu kuning bagi pemerintah agar jumlah pengangguran dapat terus ditekan.
Program Kartu Prakerja yang saat ini sudah berjalan sebanyak 26 gelombang, dinilai sebagai sebuah contoh program pragmatis dalam masa pandemi, karena terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan melemahnya sektor Usaha Kecil Menengah (UKM).
"Jadi, bisa kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi ini menjadi indikator positif bagi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan inflasi adalah indikator yang memberikan tekanan terhadap kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi menjadi ibarat 'malaikat', sedangkan inflasi menjadi ibarat 'hantu' untuk masyarakat," jelasnya.
Dengan beberapa indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang ada, kata dia, kita akan melihat berapa angka pertumbuhan ekonomi dan Inflasinya dalam kuartal I/2022 ini. Pasalnya, ini akan menjadi barometer bagaimana pencapaian secara agregat di akhir tahun 2022.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2022 diprediksi berada di kisaran 3,5-4,5 persen dan inflasi di kisaran 2-2,5 persen. Sementara, secara agregat pertumbuhan ekonomi di akhir 2022 berkisar 5-5,5 persen, dan inflasi 3,3-3,6 persen.
Selanjutnya, menjadi tugas pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan bisa menekan inflasi. Ibaratnya, kata Ajib, regulasi itu harus memperbanyak 'malaikat' dan di sisi lain mengurangi 'hantu' terhadap kesejahteraan rakyat.