Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan perang Rusia dan Ukraina dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi.
Ditambah lagi, dengan penguncian ketat yang dilakukan China lantaran kasus Covid-19 kembali melonjak di negara tirai bambu tersebut.
Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath menyampaikan faktor-faktor ini membuat IMF merevisi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini, yaitu dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen.
Tak hanya itu, IMF memproyeksikan inflasi tahun ini sebesar 5,7 persen di negara maju dan 8,7 persen di negara berkembang, 1,8 hingga 2,8 poin lebih tinggi dari yang diproyeksikan pada Januari lalu.
"Ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi kami sebelumnya," kata Gita dalam High Level Discussion: Strengthening Economic Recovery Amidst Heightened Uncertainty pada Jumat (22/4/2022).
Gita mengatakan, perang antara Rusia dan Ukraina telah memberikan dampak yang besar terutama terhadap pasar komoditas global.
Harga beberapa komoditas energi dan bahan makanan meningkat cukup tinggi, seperti minyak mentah dan gandum.
Ketahanan pangan di beberapa negara seperti Kaukasus, Asia Tengah hingga Afrika mulai terancam, lantaran negara-negara tersebut bergantung pada ekspor dari Rusia dan Ukraina. Selain itu, negara-negara di Eropa mulai mengalami krisis energi terutama gas sebagai akibat dari melambungnya harga bahan bakar dan gas.
Faktor lain yang memperlambat pertumbuhan global adalah perlambatan pertumbuhan di China.
"Itu datang dari pemulihan yang lebih lambat dalam konsumsi dan krisis yang sedang berlangsung di sektor real estat dan tentu saja tidak lupa bahwa pandemi masih belum berakhir seperti yang Anda lihat di banyak bagian Eropa lainnya, termasuk China," ungkapnya.
Meskipun demikian, Gita menegaskan bahwa inflasi di banyak negara telah meningkat bahkan sebelum perang Rusia dan Ukraina terjadi.
Ini kata dia terjadi lantaran tidak seimbangnya supply-demand dan dukungan kebijakan selama pandemi Covid-19.