Bisnis.com, JAKARTA - Maskapai penerbangan nasional mengakui adanya penaikan tarif selama periode Lebaran 2022 hingga ke rentang tarif batas atas (TBA).
Direktur Niaga Sriwijaya Air Group Henoch Rudi Iwanudin menuturkan, bahwa pada periode peak season seperti Lebaran, maskapai bakal maksimalkan guna menjaga pendapatan perusahaan. Namun, penaikan tarif yang dilakukan tetap dijaga sesuai dengan aturan TBA yang berlaku.
"Jika dibanding dengan periode biasa, harga jual tiket menjelang Lebaran ini dapat dikatakan sudah naik kurang lebih 20 persen," ujarnya, Selasa (12/4/2022).
Sementara itu, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) Irfan Setiaputra menuturkan penaikan tarif tiket pesawat selama periode Lebaran 2022 bersifat fluktuatif di rentang TBA. Dengan kondisi tersebut, dia tak bisa memerinci secara pasti penaikan.
"Terkait dengan harga tiket tidak bisa disebut kenaikan berapa persen karena dasarnya adalah fluktuasi tarif batas atas dan batas bawah," ujarnya.
Irfan pun menyebut momentum ini menjadi kali pertamanya Garuda mencicipi periode peak season setelah 2 tahun terimbas pandemi Covid-19.
Baca Juga
Selama pandemi Covid-19 melanda, maskapai pelat merah tersebut kehilangan kesempatan musim puncak penerbangan yang biasanya menjadi sumber arus kas perusahaan. Secara tradisional dari tahun ke tahun emiten berkode saham GIAA memiliki lima peak season.
Pertama, musim mudik. Musim puncak kedua adalah masa libur sekolah. Ketiga, musim puncak angkutan umrah. Musim puncak keempat yang bakal terlewat adalah angkutan penerbangan Haji. Musim puncak yang tersisa, yakni angkutan akhir tahun dan tahun baru.
Sebelumnya, Irfan menyebut selama musim angkutan Hari Raya Idulfitri 2020, maskapai hanya melayani 33 penerbangan nasional dan internasional. Dibandingkan tahun sebelumnya, Garuda mampu melayani 300 penerbangan.
Pemerhati penerbangan, Alvin Lie juga meminta agar penaikan harga minyak dunia menjadi hal yang dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan mudik.
Penaikan harga avtur untuk pesawat, diprakirakan bisa berdampak pada angkutan mudik tahun ini.
"Paling terdampak adalah terutama pesawat baling-baling. Karena cost per seat per mile-nya ini lebih tinggi dari pada pesawat jet, terutama di kawasan Indonesia Timur," katanya.
Alvin menjelaskan bahwa ketika harga avtur naik signifikan, maskapai penerbangan akan menghadapi dilema. Apabila mereka tidak menaikkan harga tiket, pilihannya bisa antara rugi atau tidak melaksanakan layanan penerbangan.
Di sisi lain, maskapai juga bisa jadi menjual tiket pesawat dengan harga yang melampaui tarif batas atas. Alvin berharap agar Kemenhub cepat menanggapi situasi tersebut.
"Apakah ada kebijakan-kebijakan yang sifatnya temporer? Apakah ada subsidi atau memberikan fuel surcharge supaya pelayanan tetap berjalan dan tidak melanggar aturan? Tapi ini butuh penanganan yang cepat agar ada kepastian bagi penyelenggara angkutan atau pengguna jasa," katanya.