Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mempersilakan maskapai penerbangan untuk menaikkan tarif kelas bisnis karena hal tersebut tidak diatur oleh pemerintah.
Direktur Angkutan Udara Kemenhub Maria Kristi menegaskan pemerintah telah memiliki aturan tentang penetapan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB).
Menurutnya besaran penetapan sudah dihitung dengan cermat bersama dengan maskapai dan asosiasi. Dengan demikian, tidak alasan bagi masyarakat untuk menyebut tiket pesawat saat ini mahal. Dia berpendapat besaran tarif yang lebih mahal kemungkinan berasal dari kelas bisnis.
“Kalau kelas bisnis kami nggak atur. Maskapai boleh memungut kelas bisnis. Kami mengatur TBA dan TBB di kelas ekonomi tapi untuk kelas bisnis tidak. Kalau namanya mahal di kelas bisnis kan ya pasti kan juga penumpangnya orang kaya,” ujarnya, Rabu (16/3/2022).
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan Garuda akan tetap mempertahankan tarifnya saat ini yang sudah berada di TBA. Terlebih masyarakat masih bisa memiliki opsi penerbangan lainnya yag lebih murah. Tetapi, masyarakat diminta untuk tidak berekspektasi mendapatkan fasilitas paling optimal dengan tarif paling murah.
“Tapi Garuda bersikap mahal nggak papa yang penting nggak lewat TBA. Yang nggak boleh jangan bikin publik nggak ada pilihan penerbangan,” ujarnya.
Baca Juga
Terkait penaikan avtur, Irfan menilai juga tak ingin menaikkan tarif apabila pada akhirnya juga akan merugi. Maskapai juga dituntut untuk mengevaluasi dan memperbaiki layanan.
Namun ,dia tak menampik margin dalam industri penerbangan sangat tipis sehingga imbas ke biaya operasional akan signifikan. Dia pun berharap segera adanya solusi soal naiknya avtur ini tanpa harus merugikan masyarakat.
“Kalau yang naik bisnis ya mohon maaf memang saya akan jual agak mahal,” katanya.
Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (JAPRI) Gerry Soedjatman mengatakan kebijakan untuk menaikkan tarif kelas bisnis untuk menutup linjakan harga avtur hanya menguntungkan maskapai yang melayani kelas bisnis. Kondisi ini akan menjadi tidak adil bagi maskapai yang tidak melayani kelas bisnis.
Gerry menjelaskan saat ini kapasitas penumpang kelas bisnis hanya sebesar 1/10 sampai 1/4 dari kapasitas pesawat tersebut. Alhasil, dia menilai tidak mungkin kenaikan tarif di kelas bisnis dapat menutup biaya bahan bakar.
Dia juga menyebut saat ini tingkat keterisian kursi atau Seat Load Factor (SLF) maskapai masih rendah di luar peak season atau weekend , dan periode liburan. Maskapai pun juga telah melakukan subsidi silang menutupi kerugian low season dengan keuntungan dari peak season. Semakin tinggi maskapai meraup untung ketika peak season, maka bisa semakin rendah harga tiket di periode low season.
“Di Indonesia, TBB- nya terlalu tinggi buat low season, dan terlalu rendah buat peak season. Jadi memang harus disesuaikan baru. Haruslah, harga avtur juga sudah naik 25 persen dibandingkan dengan pada 12 bulan yang lalu,” ujarnya.
Persoalan kenaikan avtur, sebutnya, mungkin tak akan terlalu dirasakan pada bulan ini karena masih dalam kondisi low season. Tetapi, pada saat lebaran dan libur pertengahan tahun akan berdampak besar pada kinerja keuangan maskapai.