Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah mengkaji penundaan implementasi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen pada April 2022.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa keputusan pemerintah tersebut patut diapresiasi.
Pasalnya, kenaikan tarif PPN kurang tepat dilakukan di tengah proses pemulihan ekonomi, terutama pada sektor konsumsi rumah tangga.
Terlebih lagi, perekonomian domestik saat ini harus menghadapi tantangan global, salah satunya konflik antara Rusia dan Ukraina, yang semakin mendorong peningkatan inflasi global.
“[Penundaan kenaikan tarif PPN] sangat mendukung pemulihan ekonomi terlebih dampak dari situasi geopolitik membuat inflasi jauh lebih tinggi,” katanya kepada Bisnis, Rabu (9/3/2022).
Di sis lain, Bhima mengatakan pelonggaran mobilitas masyarakat dan aturan pembebasan tes Antigen dan PCR akan mendorong sisi permintaan yang juga akan meningkatkan inflasi.
“Sebenarnya kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ketika konsumsi rumah tangga sudah mulai solid tidak masalah ya, kalau sekarang tentu momentumnya tidak tepat,” jelas Bhima.
Dia menambahkan, terkait penerimaan negara, peningkatan harga komoditas yang tinggi di tingkat global akan mendorong pendapatan pemerintah.
Berdasarkan perhitungannya, dengan harga minyak di atas US$127 per barel, maka akan ada tambahan penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp192 triliun dari selisih harga ICP di asumsi makro US$63 per barel.