Bisnis.com, JAKARTA - Perang Rusia dan Ukraina diperkirakan akan membawa dampak positif yang lebih besar, terutama pada neraca perdagangan dan cadangan devisa Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa di satu sisi konflik Rusia dan Ukraina akan mendisrupsi perdagangan Indonesia antara kedua negara ini, baik ekspor maupun impor.
Namun, proporsi perdagangan antara Indonesia dan kedua negara tersebut relatif kecil, bahkan kurang dari 1 persen dari total volume perdagangan Indonesia.
“Oleh karena itu, konflik Rusia dan Ukraina tidak akan begitu terdampak ke perdagangan, misal dalam konteks jangka pendek, tapi kita memang perlu mewaspadai dampak tidak langsung,” katanya kepada Bisnis, Selasa (8/3/2022).
Dampak tidak langsung tersebut jelasnya misalnya dampak ke kenaikan harga komoditas, salah satunya pada harga minyak global. Hal ini tentunya akan berdampak bagi Indonesia yang merupakan negara nett importir.
Di sisi lain, konflik antara Rusia dan Ukraina juga berdampak pada kenaikan harga komoditas lain, seperti CPO dan batu bara. Untungnya, dua komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan Indonesia.
Dengan demikian, meski nilai impor akan meningkat, neraca dagang Indonesia akan mendapatkan kompensasi dari kenaikan harga komoditas CPO dan batubara yang akan meningkatkan nilai ekspor dan mendorong kenaikan cadangan devisa.
“Kita sudah melihat contohnya tahun lalu, ketika krisis energi terjadi dan negara yang terlibat relatif mirip, Rusia, negara di Eropa, dan China, itu mendorong kenaikan harga batu bara dan akhirnya berdampak positif ke neraca perdagangan dan pada muaranya mendorong kenaikan cadangan devisa tahun lalu,” jelas Yusuf.
Lebih lanjut, dia mengatakan cadangan devisa tahun ini pun akan terdorong dengan penambahan utang pemerintah.
Sementara itu, dia menilai adanya konflik Rusia dan Ukraina akan menyebabkan kenaikan inflasi global dan berpeluang mempercepat kenaikan suku bunga acuan, terutama negara maju, yang mana kondisi ini akan mendorong keluarnya aliran modal asing dari pasar keuangan domestik atau capital outflow.
"Capital outflow jika terjadi akan berdampak pada terdepresiasinya rupiah sehingga akan menurunkan posisi cadangan devisa," ucapnya.
Meski demikian, dia menilai depresiasi rupiah masih akan tetap terkendali sehingga cadangan devisa belum akan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai instrumen untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, dia memperkirakan posisi cadangan devisa masih berpotensi meningkat pada kisaran US$144 miliar hingga US$145 miliar pada akhir 2022.