Bisnis.com, JAKARTA - Capaian substitusi program impor Kementerian Perindustrian sampai dengan akhir 2021 masih di bawah target 22 persen. Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Ignatius Warsito mengatakan pihaknya akan menghitung ulang capaian dan kinerja untuk mencapai target substitusi impor 35 persen pada akhir 2022.
Sektor industri di bawah Ditjen IKFT, yakni kimia hulu, kimia hilir, bahan galian non logam, dan tekstil, berkontribusi sebesar 60 persen terhadap total program substitusi impor yang diperkirakan dapat menghemat Rp152 triliun pada akhir tahun ini.
Dari keempat sektor tersebut, hanya tekstil yang capaian substitusi impornya mendekati target tahun lalu, yakni sebesar 18,5 persen.
"Tahun 2021 target kami 22 persen, tetapi tidak sampai segitu. Dari empat sektor, yang positif hanya tekstil, yang lainnya negatif. Makanya kami ingin coba konsolidasi untuk akhir tahun, waktunya tinggal tiga kuartal," kata Warsito kepada media, Senin (7/3/2022).
Industri farmasi termasuk salah satu subsektor yang paling tinggi ketergantungannya terhadap bahan baku impor, sebesar 95 persen. Hal itu tak lepas dari industri bahan baku obat (BBO) yang belum kuat di dalam negeri.
Warsito melanjutkan dari beberapa kali upaya konsolidasi, yang paling akan menjadi fokus pengurangan impor adalah produk hilir.
Sementara itu, pada akhir 2021 Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sempat mengungkapkan capaian substitusi impor pada periode Januari-Agustus 2021 untuk seluruh sektor masih di angka 7 persen.
Baca Juga
Target substitusi impor 35 persen ditetapkan dengan basis 2019, dimana nilainya mencapai Rp343 triliun dan ditargetkan turun sebesar RP152 triliun akhir tahun ini.
Menurut Warsito program substitusi impor tidak hanya berfokus pada pengurangan importasi, tetapi juga pendalaman struktur industri di tengah faktor-faktor eksternal yang menjadi tantangan bagi kemandirian manufaktur dalam negeri.
Sehingga yang juga didorong dari program ini adalah investasi yang masuk untuk pendalaman struktur industri, yang juga berdampak ke penyerapan tenaga kerja.
"Sekaligus untuk memastikan bahwa substitusi impor 35 persen didukung instrumen lain seperti standar SNI wajib dan penerapan beberapa tools perdagangan, larangan terbatas, supaya menghambat produk-produk hilir yang sudah diproduksi di dalam negeri," jelasnya.