Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku pelayaran diperkirakan harus melakukan perubahan kontrak dan beralih ke kontrak domestik sesegera mungkin setelah pemerintah menerbitkan kebijakan larangan ekspor batu bara.
Pakar Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November Saut Gurning berpendapat kebijakan pemerintah melarang ekspor batu bara dapat menjadi persoalan apabila kontrak pengangkutan sudah dilakukan oleh pengusaha kepada pelayaran.
Hal tersebut termasuk juga kontrak pengangkutan lain sejumlah tongkang dan kapal tunda yang sudah ditentukan. Kemudian kontrak satu atau beberapa unit bulker yang sudah ditentukan, jumlah kapal terminal apung yang telah dialokasikan.
Biasanya pola alokasi berbagai armada ini dilakukan dengan pola penyewaan secara waktu (time charter). Bisa dalam bulan, beberapa bulan atau tahunan.
"Jika kondisi kontrak telah dilakukan namun belum dilaksanakan maka ada kemungkinan kontrak itu perlu direvisi dan diarahkan ke angkutan domestik hingga 31 Januari 2022 seperti aturan pemerintah," ujarnya, Selasa (4/1/2022).
Menurut Saut, potensi beralihnya angkutan domestik cukup besar apabila melihat data kebutuhan sekitar 119-120 juta ton untuk PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN saja.
Baca Juga
PLN pun perlu segera melakukan kontrak pembelian sekaligus pengangkutan sehingga pelaku usaha yang telah melakukan kontrak pengangkutan luar negeri mungkin dapat segera diubah kepada kontrak pengangkutan dalam negeri. Hal ini memang tidak mudah, karena jelas perlu negosiasi ulang antara pembeli batubara, pengangkut (carrier) yang sudah dinominasi pembeli dan komitmen mereka.
Sementara itu, jika telah berkontrak jangka panjang, perubahan kontrak harus diawali dengan perubahan kontrak jual-beli (seller-buyer). Kemungkinannya memang tidak seluruhnya batal, tetapi ada modifikasi karena orientasi waktu peraturan pemerintah hanya sekitar 1 bulan.
"Jadi perubahan perlu dilakukan antara seller-buyer, lalu buyer atau pembeli PLN-carrier, utamanya bulker dan jika memungkinkan ada kontrak baru antara seller atau produsen dalam negeri dengan carrier atau bulker khususnya untuk masa 1 bulan ini," imbuhnya.
Tentunya persoalan lainnya adalah bagaimana deviasi termasuk rerouting dapat dilakukan tergantung kontrak antara PLN dan produsen batubara dalam negeri, dan kontrak pengapalan antara PLN/penjual/produsen dengan operator tongkang dalam negeri atau bulker yang notabene dikuasai operator atau pelayaran luar negeri.
Dia pun memperkirakan ada dua opsi operasi yang muncul. Pertama pola pengangkutan langsung dengan tongkang. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, kemungkinan dari Kalimantan ke Jawa-Bali atau dari Sumatera ke Jawa-Bali dan daerah lainnyaJadi dari wilayah sumber batubara ke terminal-terminal penerima PLTU milik PLN group
Kemungkinan kedua dengan operasi pengangkutan bulker ke terminal-terminal PLTU milik PLN group. Dari opsi operasi ini, faktor biaya angkut serta ketersediaan fasilitas untuk penanganan bulker tipe handy dan panamax mungkin terbatas di berbagai terminal PLN. Khususnya akibat keterbatasan kedalaman kolam dan peralatan bongkar-muat baik unloader ataupun conveyor.
"Saya memperkirakan, pilihan praktis akan lebih banyak dipilih dengan opsi integrated tug-barge ketimbang tongkang-barge lalu bulker. Jadi pertimbangan operasional dan komersial khususnya terkait proses operasi,biaya dan ketersediaan fasilitas akan menjadi pertimbangan utama," tekannya.
Kondisi lainnya adalah kontrak pengangkutan sudah terjadi pada per tanggal diberlakukannya kebijakan earang ekspor tersebut tentunya tidak diperkenankan untuk dikapalkan ke luar negeri.
Menghadapi kondisi tersebut bulker yang umumnya disewa kemungkinanan besar akan mengalami potensi biaya tambahan, yang biasa disebut dengan demmurage, akibat perubahan rencana waktu keberangkatan kapal. Sementara armada, awak kapal dan muatan sudah siap berangkat namun berubah atau terdeviasai akibat pengaturan pemerintah yang tidak dikendalikan oleh penjual-pembeli (force-majeur)
"Dalam konteks ini pemerintah perlu mengakomodasi kondisi ini. Praktisnya, kontrak-kontrak ini mungkin dapat dialihkan ke pangsa kebutuhan PLN. Namun inipun tidak mudah, karena tentu pengalihan pembeli luar negeri ke pembeli PLN perlu negosiasi perdagangan baru dengan PLN," katanya.
Selain itu, persoalan harga, waktu dan nominasi operator pelayaran akan menjadi persoalan juga. Khususnya bagi operator bulker yang sudah bermobilisasi ke wilayah dekat seller penjual. Akibatnya, nemang mungkin akan ada terjadi kompensasi atas berbagai biaya yang sudah dikeluarkan teraebut.
"Pemerintah tentu perlu melihat persoalan-persoalan ini. Dan mungkin sudah bergerak untuk membantu proses penyelesaian teknis yang mungkin terjadi sebagai dampak dari penetapan kebijakan yang serba cepat ini," tekannya.