Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menyebut revisi aturan terkait kewajiban penggunaan harga patokan batu bara (HPB) hanya bersifat penegasan.
Adapun, aturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara, yang diteken pada 8 Agustus 2025.
Beleid ini mencabut Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 yang mengatur kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dalam melakukan penjualan mineral logam atau batu bara yang diproduksi harus mengacu harga patokan mineral (HPM) dan HPB.
Baca Juga
Dalam Kepmen ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025, ditambahkan klausul mengenai ketentuan penggunaan HPM dan HPB sebagai acuan transaksi penjualan mineral dan batu bara.
Tersirat dalam Diktum Keempat bahwa pemegang IUP, IUPK, KK, dan PKP2B dapat menjual mineral logam atau batu bara di bawah HPM atau HPB berdasarkan kontrak jual beli yang disepakati dengan pembeli. Akan tetapi, pengusaha tetap wajib membayar pajak dan royalti dengan perhitungan mengacu HPM dan HPB.
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani menuturkan pada praktiknya penjualan batu bara umumnya dilakukan sesuai kontrak di bawah HPB. Oleh karena itu, relaksasi ini lebih bersifat penegasan aturan.
"Tidak ada imbasnya. Aturan ini memberikan penegasan jika penjualan di bawah HPB dapat dilakukan, sementara pembayaran royalti tetap mengacu ke HPB. Selama ini perusahaan tambang sudah tetap diwajibkan membayar pajak dan royalti mengacu pada HPB," tutur Gita kepada Bisnis, Selasa (26/8/2025).
Dia menjelaskan, secara umum kontrak tetap merujuk pada mekanisme harga yang disepakati dengan buyer. Sementara itu, basis perhitungan pajak dan royalti tidak berubah.
Menurut Gita, pelaku usaha selama ini mengikuti mekanisme tersebut, meskipun memang ada beban tambahan. Sebab, HPB sifatnya historikal dan terdapat perbedaan dengan harga pasar aktual.
Akibatnya, kata Gita, penambang harus menanggung selisih antara harga jual aktual dengan HPB yang digunakan sebagai dasar pungutan pajak dan royalti.
"Dengan kata lain, basis perhitungan pajak dan royalti memang tidak berubah, dan pelaku usaha sudah terbiasa mengikuti mekanisme tersebut," imbuhnya.
Kendati demikian, dalam kondisi harga global yang melemah, beban akibat selisih antara harga jual aktual dengan HBA historikal semakin terasa. Menurutnya, ini menjadi tekanan tambahan bagi perusahaan tambang.