Bisnis.com, JAKARTA - Waktu pergantian tahun hanya tinggal menghitung hari. Dua pekan pun tak sampai. Pemulihan ekonomi diharapkan berlanjut di 2022. Pemerintah bahkan optimistis pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5-5,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Kendati pemulihan diperkirakan akan tetap berlanjut dan menguat, sejumlah risiko tetap membayangi target pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Apalagi, adanya mutasi baru virus Corona, varian Omicron, tengah merebak di sejumlah negara. Varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan itu bahkan sudah masuk Indonesia. Namun, sejumlah ekonom memperkirakan ada beberapa faktor lain yang harus diantisipasi.
Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy mengatakan kesenjangan inflasi atau kenaikan antara indeks harga konsumen dan produsen. Hal ini terlihat dari tingginya inflasi di tingkat produsen yang melampaui 7 persen, sedangkan inflasi di tingkat konsumen masih tumbuh di bawah 2 persen.
"Saya melihat bahwa inflasi di Indonesia itu lagging dibandingkan negara-negara lain. Inflasi Indonesia ini paling rendah, padahal pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata," jelas Leo pada webinar Insurance Outlook 2022, Selasa (21/12/2021).
Leo menilai saat ini harga komoditas melonjak tinggi, daya beli masyarakat masih rendah. Namun, dia optimistis seiring dengan pemulihan ke depan yang sejalan dengan pemulihan daya beli, maka keseimbangan bisa terwujud.
Baca Juga
"Walaupun harga komoditas tahun depan akan [ternomalisasi], saya lihat harga komoditas tahun depan akan masih di atas rata-rata. Oleh sebab itu, inflation risk itu harus kita perhatikan," tuturnya.
Selain itu, normalisasi kebijakan moneter bank sentral global, khususnya bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed). Menurutnya, the Fed pada Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini terlihat memberi sinyal potensi kenaikan Federal Fund Rate (FFR) lebih dini dan lebih tinggi.
"Kalau kita lihat sebelumnya the Fed hanya expect Federal Fund Rate-nya hanya naik 25 bps tahun depan, sekarang jadi [diprediksi] naik 75 bps. Jadi ada revisi 50 bps," jelas Leo.
Kemudian, pengurangan pembelian aset yang dilakukan otoritas moneter AS tersebut semakin besar, dari awalnya US$15 miliar kini menjadi US$30 miliar.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai berkurangnya tingkat net ekspor di 2022 dibandingkan tahun ini, bisa menjadi risiko yang perlu diperhatikan. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya impor akibat kebutuhan manufaktur yang tinggi.
"Diperkirakan komponen ini akan cenderung turun, seiring dengan kenaikan impor akibat kebutuhan manufaktur yang tinggi, diikuti oleh normalisasi harga komoditas global," jelasnya kepada Bisnis, Senin (20/12/2021).
Menurutnya, hal tersebut akan menjadi salah satu tantangan pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Padahal, net ekspor menjadi salah satu pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi selama pandemi. Indonesia sendiri, hingga November 2021, telah membukukan tren surplus selama 19 kali sejak Mei 2020.
Sejalan dengan penurunan ekspor tahun depan, konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Josua memperkirakan peningkatan investasi di 2022 dipicu oleh semakin menariknya penanaman modal di Indonesia sejalan dengan semakin kembalinya mobilitas ke level pandemi.
"Peningkatan dari sisi investasi kemudian akan mendorong pembukaan lapangan pekerjaan, sehingga pasar tenaga kerja Indonesia semakin membaik. Alhasil, daya beli masyarakat juga ikut terdorong naik," katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah berbagi sederet ancaman terhadap perekonomian Indonesia tahun depan.
"Kita waspadai ekonomi terutama dari dinamika global," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (21/12/2021).
Pertama, Sri Mulyani melihat adanya ancaman varian baru omicron. Kedua, tapering yang akan dilakukan bank sentral AS, The Fed. Seperti diketahui, ekonomi AS mulai membaik. Hal ini ditandai dengan inflasi tertinggi sepanjang sejarah sebesar 6,8 persen.
Kondisi ini, memicu bank sentral melakukan normalisasi kebijakan dengan mengurangi stimulus.
Ketiga, persoalan krisis rantai pasok yang mulai membaik dan akan memicu inflasi. Oleh karena itu, dia mengingatkan agar Indonesia tetap waspada
"Dinamika ekonomi global baik ekspor impor, inflasi, nilai tukar rupiah dan komoditas," tegasnya.