Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengatakan neraca dagang tekstil Indonesia dengan Korea Selatan bakal tetap defisit, meski ada Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) tahun depan.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan neraca dagang yang defisit itu bertahan sekalipun eksportir garmen dalam negeri sudah mendapatkan penghapusan pos tarif mencapai 95 persen di produk jenis tekstil. Penghapusan pos tarif yang mencapai 95 persen produk tekstil itu berasal dari komitmen Asean-Korea Free Trade Area (AKFTA).
“Mulai dari HS 50 sampai 63 ya sudah banyak nol pos tarifnya sekitar 95 persen sudah banyak yang digratiskan hanya saja untuk ekspornya belum terlalu agresif karena kita sifatnya subtitusi,” kata Redma melalui sambungan telepon, Selasa (7/12/2021).
Redma menuturkan industri tekstil dalam negeri mayoritas mengekspor bahan baku seperti benang pintal yang belakangan diolah menjadi kain oleh industri tekstil di Negeri Ginseng tersebut.
Barang jadi yang diolah di Korea Selatan, kata Redma, diimpor kembali ke Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan sebagian diekspor kembali ke Amerika Serikat dan Eropa.
“Pabrik garmen Korea yang orientasi ekspor bukan ke Korea lagi itu bikinnya di Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa, tapi pabriknya yang punya orang Korea. Suplai internal dipenuhi dari pabrik yang ada di Vietnam, China, dan Bangladesh,” tuturnya.
Dengan demikian, dia mengatakan implementasi IK-CEPA tidak akan berpengaruh signifikan untuk mendongkrak kinerja ekspor industri tekstil dalam negeri. Struktur pasar yang diciptakan Korea Selatan memaksa Indonesia untuk mengekspor bahan baku.
“Tidak akan berpengaruh [IK-CEPA], kita agak khawatir sejak AKFTA industri tekstil kita defisit karena yang kita ekspor ke sana benang yang kita impor kain. Harga kain lebih mahal ketimbang benang secara volume pun lebih besar,” tuturnya.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah otoritas perdagangan, neraca perdagangan Indonesia dengan Korea Selatan sepanjang Januari hingga September 2021 mengalami defisit mencapai US$254,1 juta.
Neraca defisit itu berasal dari realisasi impor yang lebih tinggi ketimbang ekspor. Adapun nilai impor Indonesia dari Korea Selatan mencapai US$1,56 miliar. Di sisi lain, nilai ekspor berada di posisi US$1,31 miliar.
Sementara total perdagangan kedua negara sepanjang Januari hingga September 2021 sudah mencapai US$2,88 miliar atau naik mencapai 29,6 persen jika dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu di angka US$2,22 miliar.