Bisnis.com, JAKARTA – Pengelolaan sumur minyak tua dinilai memerlukan aturan jelas untuk menghindari upaya pengeboran ilegal atau illegal drilling di tengah meroketnya harga minyak dunia.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, naiknya harga minyak dunia hingga level US$80–US$90 per barel telah mendorong maraknya aktivitas pengeboran di sumur-sumur minyak tua.
Masyarakat di sejumlah wilayah eks pengeboran mencoba peruntungan dengan melakukan penambangan di sumur-sumur migas yang dinilai tidak lagi ekonomis bagi kalangan korporasi.
Namun, Fahmy menyayangkan praktik pengeboran di sumur-sumur minyak tua itu tidak diikuti dengan kepatuhan dan tata kelola yang baik. Hal itu dapat memberikan dampak buruk pada keamanan dan perlindungan, baik untuk kerja maupun lingkungan.
Jika situasi tersebut terus berjalan, dikhawatirkan akan menciptakan masalah sosial dan lingkungan di wilayah eks pengeboran minyak di berbagai wilayah di Indonesia.
Fahmy menyebut, rerata sumur minyak tua saat ini telah ditinggalkan oleh korporasi karena sudah tidak ekonomis. Selain cadangan yang menipis dan volume produksi yang terbatas, biaya pengelolaan sumur tua ditinggalkan itu sangat mahal.
“Sebenarnya sumur-sumur tua masih memiliki produksi, untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan masyarakat di sumur-sumur tua itu pemerintah harus membuat aturan yang kuat, agar potensi produksi migas di sumur tersebut bisa kembali ke negara,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (22/11/2021).
Menurutnya, pemerintah harus membuat aturan kuat berkenaan dengan penyerahan sumur-sumur minyak tua setelah ditinggalkan oleh korporasi. Selain itu, korporasi dapat menggandeng warga sekitar yang melakukan kegiatan untuk kembali mengembangkan sumur tersebut.
Dengan cara seperti itu, korporasi bisa mengawasi kegiatan pengeboran sumur minyak tua melalui kaidah pengeboran yang benar dengan teknologi yang terjamin sesuai dengan good mining practice.
“Aturan yang tegas sangat diperlukan, tapi pembuatan aturan juga harus didasari atas pendekatan kultural, sosiologi masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut banyak pihak, keterlibatan Polri, TNI, dan pemerintah menjadi sangat penting,” terangnya.
Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) memaparkan bahwa kegiatan illegal drilling terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pemerintah mencatat 137 kegiatan sumur ilegal pada 2018 dan meningkat pada 2019 menjadi 194. Kemudian, pengeboran ilegal naik menjadi 314 pada 2020.
Selain itu, terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan illegal, yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyebut, aturan terkait pengelolaan sumur tua telah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Sumur Tua.
Aturan itu bersinggungan dengan pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi Unit Desa (KUD). Sejatinya regulasi itu sudah cukup kuat, namun implementasi di lapangan tidak berjalan.
Menurutnya, untuk menekan kegiatan ilegal di sumur minyak tua diperlukan payung hukum tertinggi yang bisa mengoordinasi antarlembaga dari pusat sampai ke daerah.
“Karena peraturan yang sifatnya teknis selama ini terbukti tidak berhasil. Di lapangan terjadi praktik penambangan yang tidak mengedepankan good mining practice. Makanya sering kita dengar dan lihat ada pipa kebakaran, sumur menyembur, risiko-risiko itu yang perlu diminimalkan,” ujarnya.
Dia menilai, penyelesaian illegal drilling dan illegal tapping tidak bisa hanya dituntaskan melalui aspek penegakan hukum saja, melainkan juga harus ada aspek ekonomi dan pendekatan kultur di setiap daerah.
“Jika tidak begitu, ditindak seperti apapun maka mereka akan kembali lagi. Lagi-lagi ini adalah persoalan ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Komaidi bahkan sempat mengusulkan, melalui Permen tersebut dapat memberikan wadah bagi individu yang melakukan illegal drilling dan illegal tapping dalam satu paying, yaitu BUMD dan Koperasi. Tujuannya untuk memudahkan koordinasi atau monitoring.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji sebelumnya sempat mengatakan bahwa pihaknya akan merevisi Permen ESDM Nomor 1/2008.
Hal itu untuk melegalkan BUMD dan Koperasi Unit Desa (KUD) agar bisa mengelola sumur minyak rakyat. Adapun, sumur yang boleh dikelola adalah sumur tua yang berdasarkan permen tersebut telah dibor sebelum 1970 dan pernah diproduksi.