Bisnis.com, JAKARTA - Praktik sumur minyak ilegal atau disebut ilegal drilling masih banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Selain menimbulkan kerugian terhadap negara, praktek itu pun turut meninggalkan kerusakan lingkungan.
Kementerian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat pada 2018 terdapat 137 kegiatan sumur ilegal dan terus meningkat pada 2019 menjadi 194.
Seakan tak mengenal jera, praktik ilegal tersebut bahkan terus meningkat sampai dengan 2020 dengan total kasus sebanyak 314 kegiatan.
Kemenko Polhukam mencatat, terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dari kegiatan sumur ilegal itu, pemerintah telah menahan setidaknya 168 tersangka pada 2018, 248 tersangka pada 2019, dan 386 tersangka pada 2020.
Kegiatan pengeboran sumur minyak sebetulnya diatur pada UU No 22/2001 tentang Migas. Kegiatan legal pengeboran sumur minyak haruslah mengacu pada aturan tersebut.
Berdasarkan pandangan sejumlah praktisi hulu migas, kegiatan sumur minyak ilegal lebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan untuk daerah sekitarnya.
Pencemaran lingkungan, kecelakaan pekerjaan, dan tidak masuknya pendapatan daerah atas kegiatan tersebut, serta terganggunya operasi pengeboran legal menjadi hal merugikan yang dapat timbul.
Untuk itu, kegiatan sumur ilegal menjadi masalah serius dan mendesak bagi negara untuk bisa secara serius diberantas karena dampak negatif yang ditimbul.
Dalam memberantas sumur ilegal, maka diperlukan mekanisme yang lebih rinci selain dari pada UU No22/2001 yakni seperti dibutuhkannya Peraturan Presiden yang mengatur pembentukan tim gabungan lintas sektoral baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di samping itu, diperlukan Peraturan Menteri ESDM guna mendorong penegakan hukum di lapangan dengan memperhatikan aspek lingkungan, keselamatan, dan kesehatan kerja, dan tidak merugikan keuangan negara.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan dalam penanganan sumur ilegal telah melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten, hingga kepolisian.
Selain itu, pihaknya tengah melakukan kajian terkait dengan penanganan ilegal drilling melalui revisi Peraturan Menteri ESDM No1/2008 yang telah diujicobakan di Jambi dan Sumatra Selatan.
"Kita sudah tutup ratusan sumur juga tapi seperti itulah muncul lagi, saat harga minyak naik marak lagi. Di titik tertentu ada krisis karena ada kebakaran juga. Dengan payung hukum bantuan aparat penegak hukum akan kita berdayakan KUD dan BUMD untuk bisa terlibat aktif," ujarnya dalam paparan yang digelar baru-baru ini.
Penasihat Ahli Kepala SKK Migas Satya Widya Yudha mengatakan korban jiwa yang timbul atas aktivitas sumur ilegal terus berjatuhan. Di Sumatra Utara misalnya, korban jiwa telah mencapai 28 orang.
“Pengeboran sumur ilegal di Sumsel bahkan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kehadiran sumur-sumur ilegal dapat mengurangi minat investasi dari para investor dan menurunkan iklim investasi.
Menurut dia, kehadiran sumur ilegal selain merugikan secara ekonomi, praktik tersebut dapat merugikan secara lingkungan.
Pasalnya, kegiatan sumur ilegal sudah dapat dipastikan tidak dilakukan melalui kaidah-kaidah penambangan yang benar.
"Umumnya faktor pendorongnya adalah masalah ekonomi dan sosial. Selain itu, ada kontribusi dari longgarnya pengawasan," ungkapnya.