Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Agenda Aksi Iklim Prioritas Sri Mulyani di COP26, sampai Koalisi Menkeu Dunia

Menkeu RI bersama dengan Finlandia juga memegang peran sebagai Co-chair (periode 2021-2023) Coalition of Finance Ministers for Climate Actions (Koalisi Menkeu Dunia terkait Iklim) yang akan berkontribusi pada COP26.
Menteri Ekonomi Amerika Serikat Janet Yellen dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di KTT G20 di Roma, Italia/Instagram @smindrawati
Menteri Ekonomi Amerika Serikat Janet Yellen dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di KTT G20 di Roma, Italia/Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan ikut berkomitmen dalam memitigasi dan menanggulangi dampak perubahan iklim.

Hal ini salah satunya dilakukan dengan menghadiri pertemuan Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober sampai dengan 12 November 2021.

Perundingan COP tidak terlepas dari sejarah di mana Indonesia pernah memegang Presidensi COP13 di Bali pada 2007. Pada saat itu, COP17 menghasilkan dokumen mendasar yaitu Bali Roadmap dan rangkaian pertemuan selanjutnya kemudian mengantarkan pada COP21 di Paris pada 2015 yang menghasilkan Persetujuan Paris (Paris Agreement) sebagai basis implementasi global setelah 2020.

Persetujuan Paris bersifat mengikat dan diterapkan tidak hanya pada negara maju saja, namun ke semua negara (legally binding and applicable to all Parties), dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities).

"COP26 menjadi sebuah pertemuan sangat penting karena merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang mengevaluasi kemajuan yang telah dilakukan sejak Paris Agreement diadopsi pada tahun 2016 dimana 191 negara harus menetapkan target yang lebih ambisius lagi terkait kontribusinya untuk aksi perubahan iklim di bawah Persetujuan Paris. COP26 menjadi harapan besar bagi banyak Pihak, termasuk bagi para Menteri keuangan, lembaga keuangan multilateral, dalam menyelesaikan komitmen terkait penurunan emisi", ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu, Senin (1/11/2021).

Presidensi UK untuk COP26 tahun ini memiliki tujuan khusus yang ingin dicapai pada pertemuan para pimpinan negara, seperti:

(1) Mempercepat aksi dan upaya menuju Net Zero Emission (NZE) dengan salah satunya menjaga tingkat suhu global ideal sebesar maksimal 1,5°C;

(2) Memastikan warga dunia dan habitat alam dapat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim;

(3) Memobilisasi pendanaan khususnya meminta pertanggungjawaban negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam memobilisasi USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020;

(4) Mendorong negara, entitas bisnis, masyarakat sipil dan warga negara bersama-sama mewujudkan Paris Agreement.

Komitmen Indonesia sendiri terhadap upaya pengendalian perubahan iklim tercermin dalam keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau yang biasa dikenal dengan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. 

Sebagai tindak lanjut atas keikutsertaan tersebut, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU No.16/2016. Indonesia juga telah menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan dokumen updated NDC ke Sekretariat UNFCCC yang menunjukkan betapa nyatanya komitmen Indonesia.

"Peran aktif Indonesia juga dibuktikan dalam fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang pertama yang menyampaikan target nasionalnya sebagai bentuk komitmen sukarela di tingkat internasional yaitu penurunan emisi sebanyak 26 persen dari kondisi business-as-usual pada tahun 2030 dengan sumber daya nasional dan hingga 41 persen jika mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional,"jelas Febrio.

Salah satu tema penting dalam COP26 tahun ini yaitu peran pendanaan iklim. Negara maju wajib menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang dalam mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Komitmen ini diwujudkan dengan adanya pendanaan yang memadai, yang dapat diprediksi, dan transparan. Indonesia telah mendorong upaya agar negara maju dapat menunjukkan aksi nyata dukungan pendanaannya terhadap negara berkembang.

Hal tersebut sesuai juga dengan beberapa isu pembahasan di bawah agenda pendanaan iklim COP26 seperti long-term Finance, di mana negara maju akan memobilisasi dana mencapai US$100 miliar per tahun mulai 2020. Indonesia, khususnya Kementerian Keuangan, telah mengawal pembahasan agenda ini dalam berbagai ruang.

Di sisi lain, Menkeu RI bersama dengan Finlandia juga memegang peran sebagai Co-chair (periode 2021-2023) Coalition of Finance Ministers for Climate Actions (Koalisi Menkeu Dunia terkait Iklim) yang akan berkontribusi pada COP26. Peran koalisi ini utamanya sebagai aksi kolektif Menteri Keuangan berbagai negara untuk mendukung percepatan implementasi Paris Agreement melalui pemanfaatan kebijakan fiskal dan kerja sama ekonomi.

Kementerian Keuangan dijadwalkan hadir dalam pertemuan Koalisi Menkeu Dunia terkait Iklim dan Finance Day: 4th High-level Ministerial Dialogue on Long Term Climate Finance pada 3 November 2021 di Roma.

Dengan berbagai keterlibatan ini, langkah Indonesia untuk mendorong dan meminta pertanggungjawaban nyata dari komitmen pendanaan iklim negara maju sebesar USD 100 miliar per tahun dari 2020 bisa semakin terealisasi.

"Perlu ada kejelasan dan transparansi terkait pencapaian angka komitmen tersebut. Hal ini penting untuk mengidentifikasi gap yang masih ada serta strategi untuk memenuhi gap tersebut. Ini inti dari yang akan Indonesia serukan dalam rangkaian COP26", ujar Febrio.

Di samping itu, Indonesia akan terus melakukan aksi-aksi nyata dalam penurunan emisi. Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, sektor energi dan transportasi. Ketiga sektor ini telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia melakukan penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut carbon pricing melalui Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dengan skema utamanya meliputi perdagangan karbon, pungutan atas karbon dan result-based payment.

Terkait dengan perpajakan, pemerintah juga menunjukkan dukungan terhadap isu perubahan iklim melalui pengenalan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pemulihan ekonomi serta kesiapan sektor. Penerapan pajak karbon akan dimulai dari sektor PLTU batu bara dan akan semakin memperkuat pasar karbon yang sudah mulai berjalan.

Pengurangan ketergantungan pembangkit listrik bertenaga batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon, serta inisiatif berupa Energy Transition Mechanism (ETM) yang diinisiasi bersama Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB).

ETM sendiri merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batubara dan membuka investasi menuju energi bersih.

"Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang melakukan tindakan yang nyata terkait transisi energi yang adil dan terjangkau, hal ini menunjukkan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim," lanjut Febrio.

Sebagai Ketua Bersama Koalisi Menteri Keuangan untuk Perubahan Iklim, Indonesia akan mendorong COP26 agar mampu secara serius membangun pemahaman dan tanggung jawab bersama yang lebih baik dan lebih kuat antara negara berkembang dan negara maju untuk mewujudkan hasil yang paling efektif dalam menangani masalah perubahan iklim. Peran pada koalisi ini juga yaitu merancang transisi kebijakan ekonomi dan keuangan hijau yang adil dan terjangkau untuk negara berkembang.

Selanjutnya, Presidensi G20 2022 dan Keketuaan ASEAN di 2023 juga semakin meletakkan Indonesia dalam posisi yang sangat strategis di dunia internasional dan dapat dimanfaatkan untuk lebih mendorong negara-negara lain mencapai target pengendalian perubahan iklim global.

"Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan keterlibatan aktif di forum-forum internasional termasuk COP26 ini sebagai sarana untuk memberi contoh kepada negara-negara lain dan mengkatalisasi kerja sama untuk memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim dengan tindakan nyata", tutup Febrio.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper