Bisnis.com, JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil melalui forum G20, di Roma, Italia.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan bahwa pemulihan global yang rapuh mengharuskan kita melakukan serangkaian dukungan kebijakan termasuk reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil.
“Semenjak pertemuan terakhir forum G20 di bulan Juli 2021, diskusi internasional terus menunjukkan perkembangan yang baik sehingga kita semakin dekat dengan tujuan reformasi perpajakan internasional yang adil ini," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam siaran pers, Senin (1/11/2021).
Contohnya, lanjut Febrio, terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang telah menyetujui Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy atau yang selanjutnya disebut dengan Solusi Dua Pilar Pajak Digital, yaitu menjadi 136 negara.
Jumlah ini meningkat dari yang sebelumnya 132 negara anggota pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Forum G20 Juli 2021 lalu. Hal ini berarti hanya tinggal empat negara lagi untuk mencapai konsensus global.
Salah satu fokus forum G20 yang akan terus dilanjutkan pada Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022 adalah meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi guna mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, berkelanjutan.
Baca Juga
Hal ini dilakukan salah satunya melalui reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal dengan Pilar 1 serta pemastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
Untuk mewujudkan kedua pilar ini menjadi landasan hukum yang konkret, perlu disusun suatu Konvensi Multilateral (Multilateral Convention/MLC).
“Pilar 1 dan Pilar 2 akan dituangkan dalam suatu konvensi multilateral yang rencananya akan mulai ditandatangani pada pertengahan 2022 dan berlaku efektif pada tahun 2023. Oleh karena itu, kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 tahun 2022 menjadi sangat krusial agar target tersebut dapat direalisasikan tepat waktu,” papar Febrio.
Pilar 1 mencakup MNE dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10%. Keuntungan MNE ini kemudian dibagikan kepada negara pasar jika MNE tersebut memperoleh setidaknya EUR1 juta (atau EUR250 ribu untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar) dari negara pasar tersebut.
Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25% keuntungan MNE ke negara pasar. Jumlah ini kemudian akan dibagikan kepada negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut.
“Pengaturan yang semakin konkret ini adalah perkembangan sangat baik. Dengan alokasi 25%, maka sistem perpajakan menjadi lebih adil dibandingkan saat ini, di mana tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Padahal sebagian besar MNE yang menjual barangnya di Indonesia bukan merupakan BUT, melainkan hanya kantor perwakilan saja sehingga tidak bisa dipajaki," ungkap Febrio.
Selanjutnya, Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar 750 juta euro atau lebih. Dengan pajak minimum pada Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi.
Pilar 2 yang dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules akan memastikan MNE dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.
Selain itu, laporan OECD “Statement on A Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising From the Digitalization of the Economy” tanggal 8 Oktober 2021 juga menyebutkan bahwa pilar dua akan melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu (seperti bunga dan royalti) menjadi minimal sebesar 9 persen.
Makna Pilar 2 yang pengaturannya semakin detail ini ada dua. Pertama, Indonesia bisa meningkatkan penerimaan pajak yang semula terhambat praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan tarif yang rendah.
Namun di saat yang sama, dengan adanya tarif pajak minimum, Indonesia juga akan meninjau ulang rezim fasilitas pajak yang diberikan kepada MNE. Sebab, kalaupun mengenakan tarif pajak lebih rendah dari tarif minimum tadi, negara lain akan mengenakan pajak tambahan hingga mencapai tarif minimum.
Berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, terdapat tambahan Pajak Penghasilan hingga 4 persen atau sekitar US$150 miliar per tahun dengan pengenaan pajak minimum melalui Pilar 2. Selain itu, terdapat tambahan sebesar US$125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar, termasuk Indonesia, melalui implementasi Pilar 1 yang menjanjikan sistem pajak internasional yang lebih adil.
Selain itu, terdapat perkembangan terbaru untuk menghapus Pajak Jasa Digital atau Digital Services Tax (DST) yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai langkah sementara.
Meskipun merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat mengingat DST saat ini sudah diterapkan di berbagai negara, termasuk Malaysia, Kanada, India, dan Uni Eropa.
“Perkembangan di tingkat multilateral ini termasuk salah satu amanah besar yang harus dieksekusi dalam Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 nanti. Persetujuan pajak global ini adalah titik terang dari pertarungan panjang kita melawan penggerusan basis pajak dan penggeseran laba yang kita kenal dengan base erosion and profit shifting (BEPS)” tutup Febrio.