Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kukuh akan menerapkan konvensi pajak minimum global untuk menarik pajak penghasilan perusahaan multinasional minimal 15%, meski konvensi tersebut ditolak oleh Presiden AS Donald Trump.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan pajak minimum global 15% merupakan konvensi multilateral Pilar 2 Economic Co-operation and Development (OECD). Menurutnya, konvensi tersebut berlaku otomatis.
Febrio menilai Indonesia malah akan rugi apabila menolak terapkan Pilar 2 OECD tersebut. Alasannya ada dalam backstop mechanism Pilar 2: jika suatu negara tidak ikut ketentuan pajak minimum global maka hak pemajakannya akan menjadi hak negara lain.
Oleh sebab itu, sambungnya, Indonesia memilih terapkan konvensi pajak minimum global 15% per 1 Januari 2025 sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.
"Kalau itu tidak kita lakukan, itu artinya negara asal dari investor tersebut akan memajaki perusahaan [multinasional] di Indonesia itu minimal sampai 15%. Jadi itu artinya kita sedang menyubsidi APBN negara lain," jelas Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (20/5/2025).
Lebih lanjut, Kementerian Keuangan tidak menampik bahwa AS menarik dukungan atas Pilar 2 OECD. Bahkan, Trump menyatakan akan lakukan retaliasi kepada negara-negara yang kenakan pajak minimum global ke perusahaan multinasional AS.
Baca Juga
Hanya saja dalam KEM-PPKF 2026, Kementerian Keuangan mencatat belum ada respons konkret dari negara-negara lain terhadap penolakan AS terhadap penolakan dan ancaman AS itu hingga April 2025. Setidaknya, sudah ada 65 negara yang tetapkan pajak minimum global.
"Jadi sebenarnya dengan [penolakan] Amerika tidak berdampak terhadap kesepakatan ini," kata Febrio.
Lebih lanjut, mantan Kepala Riset Ekonomi Makro dan Keuangan LPEM FEB UI itu tidak menampik bahwa penerapan pajak minimum global 15% berpotensi membuat investor asing berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia.
Febrio pun menyatakan pemerintah sedang akan memberi insentif alternatif kepada investor. Hanya saja, dia belum bisa menjelaskan insentif seperti apa yang diberikan.
"Ini belum kita bahas secara mendalam, tetapi ini kita coba nanti koordinasikan. Memang kita juga harus melihat bagaimana insentif di negara-negara lain. Kalau dalam konteks ini kan kita menjaga supaya arus investasi tetap berjalan," tutupnya.
Dampak Pajak Minimum Global
Sementara itu, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menyebutkan aturan pajak minimum global sangat relevan dengan perkembangan ekonomi yang semakin terdigitalisasi. Hal ini menjawab tantangan alokasi hak pemajakan.
“Melalui ekonomi digital, suatu perusahaan yang berlokasi di negara A bisa mengambil keuntungan di negara B. Namun, pemerintah negara B sulit memajaki perusahaan tersebut karena berada di luar yuridiksinya,” jelas Prianto kepada Bisnis, Minggu (19/1/2025).
Pajak minimum global menyesuaikan alokasi hak pemajakan dengan kebijakan internasional berbasis konsensus. Kebijakan ini dirancang berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
“Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi grup perusahaan multinasional tidak lagi terbatas pada kehadiran fisik anggota grup tersebut,” ungkap Prianto.
Dia itu menjelaskan bahwa PMK 136/2024 dirancang untuk mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yaitu praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak memungut pajak penghasilan badan.
“Dengan pajak minimum global ini, grup perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan negara lain harus membayar pajak sesuai tarif minimum global yang telah disepakati,” kata Prianto, yang juga Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute.