Bisnis.com, JAKARTA – Wacana Work From Bali (WFB) yang digaungkan oleh pemerintah, khususny a oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), menuai kritik dari berbagai pihak. Awalnya, wacana tersebut ditujukan untuk pemulihan ekonomi dan pariwisara Bali yang terpukul akibat pandemi.
Peneliti LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) justru berpandangan bahwa kampanye WFB tersebut lebih baik jika dimodifikasi menjadi upaya untuk mentransformasi sektor pariwisata, agar mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru remote work atau Work from Remote (WFR).
Pasalnya, fenomena pengembara digital nasional dan internasional di Bali sudah mulai bermunculan sebelum pandemi, meskipun tidak banyak.
“Oleh karena itu mungkin jika kampanye WFB lebih baik jika dimodifikasi menjadi upaya yang lebih besar untuk mentransformasi sektor pariwisata nasional, agar mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru remote work atau Work from Remote (WFR), yang bisa menjadi peluang pengembangan pariwisata di masa depan,” demikian dikutip Bisnis dari laporan berjudul Transformasi Sektor Pariwisata untuk Beradaptasi dengan Kebiasaan Baru Remote Work dan Digital Nomad, Rabu (23/6/2021).
Selain itu, pemerintah disarankan agar upaya transformasi tidak hanya dilakukan di Bali, namun di daerah-daerah lainnya. Adapun, terdapat enam hal yang perlu dilakukan pelaku usaha pariwisata untuk untuk bertransformasi dalam rangka mengantisipasi kebiasaan baru WFR.
Pertama, penyediaan akses internet yang kuat dan stabil di lokasi sebagai sarana dasar dan mutlak bagi wisatawan. Di sisi pelaku usaha, mereka perlu berinvestasi pada fasilitas fixed broadband yang berkualitas di lokasi usaha.
Baca Juga
Kedua, standar dan protokol kesehatan di lokasi wisata tetap perlu dipertahankan selama dan pascapandemi. Meskipun dapat menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku usaha, penyediaan alat kebersihan dan penjagaan jarak dapat sekaligus menyaring wisatawan dengan kualitas belanja lebih tinggi.
Ketiga, perlunya tambahan tempat-tempat penjualan lengkap suku cadang dan layanan purna jual komputer serta gawai yang tersebar.
Keempat, adanya kombinasi antara tempat umum terbuka yang nyaman unutk bekerja dengan ruangan kedap suara dan nyaman untuk mengadakan pertemuan secara daring.
Kelima, para pelaku wisata juga perlu mampu melakukan layanan transaksi non-tunai untuk jasa yang ditawarkan.
“Dan terakhir [keenam], tidak hanya berfokus pada wisman, tetapi juga wisnus. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, tumbuhnya kelas menengah ekonomi,dan munculnya rekreasi sebagai salah satu kebutuhan masyarakat menyebabkan prospek pariwisata domestik tetap cerah,” tulis LPEM FEB UI dalam laporannya.