Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengungkapkan sejumlah temuan hasil dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal terkait dengan penyediaan rumah bersubsidi.
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR) Eko Djoeli Heripoerwanto mengatakan terdapat tujuh hasil temuan dari BPK, BPKP, dan Itjen terkait dengan rumah subsidi.
Temuan itu meliputi, pertama, kurangnya sosialisasi dalam penghunian rumah subsidi baik rumah tapak dan rumah subsidi.
"Tidak semua debitur tahu bahwa rumah subsidi harus ditempati 1 tahun. Jadi banyak yang tidak dihuni lebih dari 1 tahun, yang butuh rumah banyak tetapi kenapa tidak ditempati. Kami mengganggap yang tidak menempati karena tidak butuh rumah," ujarnya.
Dia mengemukakan hal itu dalam seminar daring Optimalisasi Dukungan Bank Pelaksana Demi Menjamin KPR Subsidi yang Lebih Tepat Sasaran yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) pada Selasa (15/6/2021).
Akan tetapi, lanjutnya, bisa jadi debitur tidak menghuni rumah subsidi karena sarana prasarana yang tidak lengkap seperti listrik, ketersediaan air minum, hingga transportasi umum. Dia menilai hal ini bukan menjadi tanggung jawab Kementerian PUPR karena terkait kelengkapan sarana prasarana, tetapi merupakan tanggung jawan pemerintah daerah.
Oleh sebab itu, pengembang rumah bersubsidi harus berkomunikasi baik dengan pemda.
Temuan kedua, ditemukan rumah KPR bersubsidi belum memenuhi standar laik fungsi, baik dari sisi kualitas, konstruksi, penyediaan PSU (prasarana, sarana, dan utilitas umum) maupun administrasi.
"Masih ada kelemahan pondasi atap, ring balok, atap dan lain sebagainya. Mohon kesadarannya, kelayakan sudah diatur dalam ketentuan UU. Kita harus ikuti semua aturna itu dan sisi lain perlindungan konsumen," ucap Eko.
Ketiga, ditemukan rumah KPR bersubidi yang tidak sesuai dengan tata ruang atau perizinan. Temuan keempat, keterlambatan penyaluran SBUM oleh bank pelaksana. "Temuan kelima keterlambatan penyaluran dana bergulir dan tarif dana FLPP [Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan] oleh bank pelaksana," tuturnya.
Temuan keenam, ditemukan rumah yang tidak dihuni, disewakan, atau dipindahtangankan sebelum 5 tahun atau 20 tahun. Dia menegaskan rumah subsidi tidak boleh disewakan dan harus dihuni sendiri.
Temuan terakhir atau ketujuh, terjadinya dua rumah KPR bersubsidi digabung jadi satu rumah. "Kami kecolongan, jadi suami beli satu rumah subsidi lalu istrinya beli di sebelahnya dan mereka gabung jadi satu rumah. Ini tidak boleh terjadi lagi," kata Eko.
Eko menuturkan ketujuh temuan hasil BPK, BPKP dan Itjen ini juga ditemukan oleh timnya di lapangan. "Temuan sama dengan tim kami dilapangan," ucapnya.