Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu mengerem anggaran belanja secara signifikan untuk menjaga amanah UU No. 2/2020 guna mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Jika kebijakan ini tidak segera dilakukan, normalisasi defisit hanya akan menjadi wacana saja. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat, ada dua opsi yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan normalisasi defisit sebagai salah satu bagian dari konsolidasi fiskal pada 2023.
Pertama menekan belanja, dan kedua menaikkan penerimaan negara. Dua opsi tersebut selalu dijadikan pilihan oleh banyak negara untuk memulihkan kondisi fiskal yang tertekan cukup dalam.
Pemangkasan belanja dilakukan di antaranya melalui pemotongan pengeluaran operasional yang mencakup gaji pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN), dan penyesuaian anggaran subsidi.
Adapun, untuk meningkatkan penerimaan bisa ditempuh dengan menaikkan cukai untuk beberapa objek dan mengerek tarif pajak konsumsi seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya, opsi menaikkan tarif PPN telah dirumuskan oleh pemerintah dan rencananya akan diimplementasikan pada tahun depan. Namun, BKF menekankan bahwa di beberapa negara opsi yang dipilih dalam rangka mewujudkan konsolidasi fiskal adalah dengan lebih menekankan spending cut atau memangkas belanja dibandingkan dengan upaya peningkatan penerimaan.
Baca Juga
“Sebab spending cut mengakibatkan upaya penurunan defisit [anggaran] lebih efektif,” tulis catatan BKF yang dikutip Bisnis, Minggu (9/5).
Catatan serupa juga dituliskan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Lembaga itu menilai pemerintah menghadapi tantangan jangka menengah berupa pemenuhan mandat untuk menurunkan defisit kembali di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan secara realistis, melihat permintaan agregat yang masih lemah dan penerimaan negara yang masih rendah hingga saat ini, hampir tidak mungkin pemerintah dapat memenuhi mandat tersebut tanpa mengganggu stabilitas makroekonomi.
Menurutnya, apabila krisis terus berlangsung dan permintaan agregat belum pulih pada tahun ini atau tahun depan, satu-satunya cara untuk mencapai mandat penurunan defisit tersebut adalah dengan menurunkan belanja pemerintah secara signifikan.
“Belanja tersebut termasuk juga stimulus yang dibutuhkan untuk mendorong laju ekonomi dan menjaga dampak negatif terhadap kelompok masyarakat rentan,” kata Teuku.
Dalam APBN 2021, pemerintah menetapkan peningkatan target penerimaan dan belanja negara masing-masing menjadi Rp1.743,6 triliun dan Rp2.750,0 triliun.
Teuku menambahkan, target penerimaan yang ditetapkan pada tahun ini lebih tinggi 6,7 persen dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu.
Menurutnya, pemerintah perlu terus mengoptimalkan sumber penerimaan agar target tersebut tercapai dan defisit anggaran dapat ditekan.
Namun, kondisi saat ini dinilai masih kurang kondusif bagi pemerintah karena ekonomi yang tertekan akibat Covid-19 dan beberapa kebijakan terkait perpajakan yang memangkas potensi penerimaan selama pandemi Covid-19. Di antaranya adalah pelonggaran tarif pajak dan kebijakan baru pemerintah terkait dengan pajak penjualan kendaraan untuk bermotor dan properti.
Di sisi lain, belanja negara juga ditargetkan meningkat. Inilah yang kemudian menjadi penghambat misi konsolidasi fiskal yang digaungkan pemerintah. Teuku pun menyarankan agar porsi belanja nonprioritas sedikit ditekan.