Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utak-Atik Defisit APBN, Nyali Eksekutif dan Legislatif Kejar Pajak Orang Super Kaya Diuji

Upaya mengembalikan defisit anggaran ke angka normal di bawah 3 persen memerlukan upaya ekstra dari pemerintah dan legislator. Salah satunya adalah upaya mengumpulkan pajak dari orang super kaya.
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berdasarkan Undang-Undang 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 diperbolehkan memperlebar defisit APBN menjadi di atas 3 persen dan kembali normal pada 2023.

Namun, upaya mengembalikan defisit ke batasan normal tersebut memerlukan kebijakan ekstra jika ingin terealisasi tepat waktu sesuai aturan tersebut.

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan bahwa di masa pandemi sudah saatnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat serta pelaksana regulasi melakukan perubahan yang luar biasa.

“Saya ingatkan, kita berani tidak untuk meredam kegaduhan? Karena kebiajakan ini berangsung lama dan sudah banyak pihak yang di-ninabobo-kan dan seolah-olah jadi kebijakan yang seharusnya sudah ada,” katanya, Senin (29/3/2021).

Darussalam menjelaskan bahwa upaya luar biasa tersebut pertama terkait dengan pajak penghasilan (PPh) digital. Saat ini regulasi berlaku hanya menyasar pada pajak pertambahan nilai (PPN) saja karena pemerintah menunggu konsensus internasional.

Kedua, keberanian eksekutif dan legislatif membuat peraturan memajaki orang-orang super kaya dengan mengeluarkan pungutan atas warisan. Hal ini menurut Darus tidak terakumulasi.

Ketiga, upaya mengurangi ketimpangan pajak. Ada beberapa sektor yang disoroti, seperti pertanian dan konstruksi.

Berdasarkan datanya, pertanian berkontribusi 12,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tapi sumbangan untuk pajaknya hanya 1,6 persen. Penyebabnya, PPN belum dikenakan untuk sektor tersebut.

Sementara untuk konstruksi berkontribusi 10,7 persen terhadap PDB tapi hanya menyumbang 5,4 persen dari total pajak. PPN final untuk sektor ini harus dievaluasi dan berubah menjadi pajak umum yang berbasis neto.

Upaya ekstra terakhir, terang Darus, adalah perluasan basis pajak. Saat ini definisi pengusaha kena pajak Indonesia adalah omsetnya lebih darRp4,8 miliar pertahun. Pemerintah diminta berani untuk menurunkan, misalnya seperti sebelumnya di angka Rp600 juta pertahun.

“World Bank bilang Rp4,8 miliar hanya mampu 60 persen memungut PPN saja. Tapi kan ini persoalan menyasar UMKM dan sebagainya. Ini pasti gaduh. Kemudian berani tidak kita penghasilan tidak kena pajak yang sekarang Rp4,5 juta sebulan diturunkan lagi?” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper