Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta konsorsium Badan Usaha Milik Negara yang terlibat dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung untuk menghitung lebih rinci pembengkakan biaya pekerjaan tersebut.
Dilansir oleh Tempo, langkah ini ditempuh sebelum pemerintah dan anggota konsorsium bernegosiasi dengan investor China sebagai mitra proyek, terkait dengan pembengkakan biaya tersebut.
Adapun, sumber anonim Tempo yang mengetahui perihal ini mengatakan langkah penghitungan yang lebih rinci itu diinstruksikan oleh Menteri Keuangan dalam rapat koordinasi terbatas awal April lalu.
"Sri Mulyani meminta kekurangan dana dihitung lebih detail, tidak hanya belanja modal tapi juga pada masa operasi atau istilahnya cash shortfall," katanya, Minggu (19/4/2021).
Rapat Koordinasi Terbatas itu dihadiri sejumlah pejabat lintas kementerian, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Hingga saat ini, proses penghitungan biaya proyek tersebut masih berlangsung. "Penghitungannya agak rumit karena harus memperhitungkan arus kas pada saat kereta sudah beroperasi," ujar sumber Tempo tersebut.
Baca Juga
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung semula membutuhkan biaya US$ 6,071 miliar atau sekitar Rp 88,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.564 per dolar AS). Namun, biaya tersebut membengkak sekitar 23 persen dari nilai semula atau setara dengan Rp 20 triliun. Pembengkakan terjadi lantaran munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi pada awal proyek.
Berdasarkan perjanjian, melarnya biaya ini sepenuhnya ditanggung konsorsium. Melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, konsorsium BUMN mengantongi 60 persen saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Adapun 40 persen sisanya dimiliki China Railway International Co Ltd.
Belum lama ini, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk meminta pemerintah memangkas porsi kepemilikan saham Indonesia di konsorsium KCIC. Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito menilai langkah itu dapat ditempuh untuk mengurangi beban membengkaknya biaya kereta cepat.
"Kami sedang melakukan negosiasi dengan pihak China agar porsi Indonesia ini bisa lebih kecil dari 60 persen," tutur Agung. "Dengan begitu, cost overrun yang terjadi sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap apa yang sudah kita setorkan," papar Agung.
Saat dimintai konfirmasi, Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia China Mirza Soraya membenarkan bahwa detail mengenai penambahan biaya tak terduga masih dalam proses pembahasan dan negosiasi di tingkat para pemegang saham. Menurut dia, konsultasi antara pemerintah Indonesia dan China terus dilakukan.