Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) meyakini tak ada urgensi proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung harus beroperasi pada 2022, jika pemerintah belum menemukan solusi akibat pendanaan yang berpotensi membengkak.
Ketua MTI bidang perkeretaapian Aditya Dwi Laksana mengingatkan target awal operasi kereta berkecepatan tinggi tersebut sudah molor dari rencana awal. Semula proyek KJB dijadwalkan beroperasi pada 2019 hingga akhirnya mundur pada 2021 dan saat ini ditenggat hingga pada 2022.
Adit berpendapat jika dari awal proyek ini dikaji dan direncanakan dengan cermat, ia meyakini pemerintah dapat menghindari pembengkakan biaya hingga meminimalisir dampak negatif konstruksi.
“Bila memang target 2022 tidak terpenuhi dan malahan penundaan operasi justru dapat meningkatkan keselamatan konstruksi dan operasional KKT JB serta dampaknya pada penambahan biaya tidak terlalu signifikan, maka sebenarnya hal ini bahkan perlu dipertimbangkan,” ujarnya, Kamis (25/3/2021).
Adit pun menyarankan agar PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebaiknya fokus untuk menyelesaikan konstruksi, pra operasi dan mempersiapkan serta melaksanakan operasi KKT JB ini.
Termasuk mengatasi pembengkakan biaya yang terjadi serta dampak lingkungan dari konstruksi, integrasi antarmoda, serta aspek bisnis seperti okupansi penumpang dan pengembangan properti serta alih teknologi.
Baca Juga
Sebelumnya, pendanaan proyek Jakarta-Bandung dikabarkan membengkak akibat munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi pada awal proyek. Anggaran dadakan yang muncul antara lain akibat kenaikan biaya pembebasan lahan dan perubahan harga pada saat pengerjaan proyek.
Adit menilai segala bentuk solusi atas adanya pembengkakan investasi untuk proyek kereta cepat Jakarta – Bandung saat ini menjadi dilematis dan mengandung konsekuensi masing-masing.
Misalnya bagi konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terlibat sebagai pemegang saham PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) akan sangat berat apabila harus menambal pembengkakan dari arus kas korporasi mereka. Tentunya dalam hal ini pemerintah juga tidak bisa lepas tangan.
Namun, lanjutnya, apabila nantinya pemerintah memberikan dukungan berbentuk dana talangan, tentu hal ini masih memberatkan konsorsium BUMN tersebut untuk saat pengembaliannya nantinya.
Di sisi lain, kata Adit, alternatif bentuk penyertaan modal negara kepada BUMN juga sesungguhnya sulit karena kondisi keuangan negara dan juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas pada masa pandemi ini.
“Solusi lain adalah penerbitan obligasi yang tentunya masih menjadi pertanyaan apakah obligasi tersebut akan diserap oleh pasar mengingat sebenarnya potensi KKT-JB ini juga masih belum bisa dipastikan baik dari sisi potensi penumpang maupun secara finansial,” katanya.