Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan terkait dengan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sektor otomotif.
Laporan yang ditulis Mohamad D. Revindo dan Aditya Alta menyebutkan meski kebijakan memiliki alasan ekonomi yang cukup kuat, tetapi terdapat beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, perlu diantisipasi munculnya permintaan insentif dari berbagai industri lain yang juga terdampak pandemi.
"Oleh karena itu, tepat jika insentif PPnBM berlaku selama tiga bulan saja, dan setelah tiga bulan insentif dapat dihentikan jika penjualan mobil telah kembali membaik. Kedua, adanya insentif sebaiknya tidak mengurangi insentif pajak perusahaan yang dapat mencegah pengurangan karyawan secara massal," tulisnya melalui ringkasan yang dikutip Bisnis.com, Minggu (21/3/2021).
Ketiga, lanjutnya, belajar dari negara lain, bagaimanapun juga keputusan kelas menengah membeli mobil tidak semata ditentukan oleh potongan pajak, tetapi juga oleh penanganan pandemi secara keseluruhan yang memungkinkan mereka meningkatkan mobilitasnya dengan rasa aman, dan kepastian agenda pemerintah untuk pengembangan mobil listrik.
Dia menerangkan bahwa industri otomotif memang terpukul sangat dalam selama pandemi. Penjualan turun lebih dari 40 persen selama 2020 dan lebih dari 5.000 unit stok mobil yang belum terjual.
Padahal, lanjutnya, sektor otomotif memiliki kontribusi 6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan industri lain di hulu seperti logam, komponen, suku cadang dan jasa keuangan.
Baca Juga
Insentif PPnBM, lanjutnya, dianggap relatif murah karena pemerintah tidak secara aktual menyalurkan dana APBN untuk industri. Adapun, yang dilakukan lebih pada komitmen untuk tidak memungut PPnBM atas transaksi yang terjadi.
Oleh karena itu, risiko kehilangan potensi penerimaan negara juga minimal karena tanpa insentif tersebut transaksi penjualan mobil sangat rendah. Dengan insentif yang murah ini pemerintah dapat memfokuskan anggarannya untuk UMKM dan rumah tangga miskin.
Pertimbangan terakhir stimulus ini karena pemerintah berupaya untuk mendorong kelas menengah untuk membelanjakan uangnya. Ditengarai selama pandemi kelas menengah mengalami kenaikan rata-rata tabungan karena menunda konsumsinya. Padahal konsumsi swasta sangat diperlukan untuk memulihkan perekonomian karena kapasitas pengeluaran pemerintah terbatas.