Bisnis.com, JAKARTA – Lebih dari 70 persen investor berencana untuk menanamkan lebih banyak uang di sektor hotel Asia Pasifik pada 2021, demikian jajak pendapat baru oleh JLL menunjukkan.
Perusahaan konsultan properti itu memprediksi sekitar US$7 miliar transaksi tahun ini, 20 persen lebih tinggi dari tahun lalu US$5,8 miliar dalam investasi hotel.
Keyakinan jangka panjang muncul meskipun ada dampak dari Covid-19, dengan pandemi yang merugikan industri pariwisata karena batasan perjalanan internasional sebagian besar tetap berlaku.
Nihat Ercan, kepala penjualan investasi Asia Pasifik di JLL Hotels & Hospitality Group, mengatakan investor melihat industri berada pada "titik puncak periode pemulihan".
"Optimisme seputar penyebaran vaksin dan pada akhirnya pulihnya pariwisata telah mulai mendorong aktivitas dan investor tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut," ungkapnya.
Meski demikian, seperempat dari investor yang disurvei masih menunggu kejelasan tentang pemulihan industri sebelum melakukan pendanaan lebih lanjut. Sementara itu, 5 persen ingin keluar dari sektor ini dan fokus pada kelas aset lainnya.
Baca Juga
Investasi juga akan dialokasikan untuk inisiatif manajemen aset pada properti yang ada, termasuk renovasi, repurposing, dan reposisi sebagai tanggapan atas perubahan preferensi konsumen.
"Ada kesepakatan yang harus dilakukan di lingkungan saat ini, namun nilai tambah pemain akan berada di atas angin karena mereka bersedia menyingsingkan lengan baju mereka untuk berinvestasi dan memosisikan kembali hotel dengan tujuan menjualnya dalam 3 sampai 5 tahun," kata Xander Nijnens, kepala penasehat dan manajemen aset, Asia Pasifik, JLL Hotels & Hospitality Group.
JLL juga memprediksi bahwa gap ekspektasi harga antara pembeli dan penjual menyempit. Investor berharap diskon 20–30 persen, sementara penjual diharapkan menurunkan harga permintaan sebesar 10 persen. Hal itu disebabkan penjual menyesuaikan diri harga dengan dampak cashflow operasional.
Berdasarkan survei JLL terhadap 100 klien pada Januari tahun ini, sebagian besar menunjukkan minat di Jepang (52 persen) dan Asia Tenggara (46 persen), dengan Australia (31 persen) dan China (22 persen) mengikutinya.