Bisnis.com, JAKARTA - Sovereign Wealth Fund (SWF) merupakan sebutan bagi otoritas yang mengelola aset finansial negara atau fund manager yang dibentuk oleh pemerintah sebagai kendaraan investasi milik negara untuk tujuan investasi berjangka panjang dan berisiko rendah di berbagai bidang, termasuk real estate dan infrastruktur.
Istilah ini muncul pertama kali dalam artikel Who Holds the Wealth of Nations yang ditulis Andrew Rozanov pada Central Banking Journal (2005). SWF Indonesia atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) akhirnya terwujud dengan nama Indonesia Investment Authority (INA).
Presiden Jokowi mengumumkan susunan dewan direksi 16 Febuari lalu. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan-aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2O2O tentang LPI. Beleid ini membekali INA dengan sejumlah kewenangan khusus (sui geneis) dalam rangka pengelolaan investasi pemerintah pusat.
Urgensi pembentukan INA antara lain karena besarnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur yang tepat waktu, sedangkan kapasitas finansial pemerintah dan BUMN kian terbatas pascapandemi, sehingga diperlukan sumber pembiayaan alternatif dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dana jangka pendek.
Bila infrastruktur dibiayai dengan utang jangka pendek, cost of fund menjadi tinggi, terutama untuk infrastruktur yang sifatnya directly cost recovery seperti jalan tol, bandar udara (bandara), pelabuhan, dan listrik.
Dalam RPJMN 2020 –2024 , estimasi kebutuhan investasi infrastruktur mendekati angka Rp6.500 triliun, khususnya yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai dengan Perpres 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang telah diubah ketiga kalinya dengan Perpres Nomor 109/2020.
INA akan menjadi alat yang strategis untuk menarik foreign direct investment (FDI), termasuk dari mitra-mitra sesama SWF antara lain di Singapura, Norwegia, dan Uni Emirat Arab. INA dapat pula bermitra dengan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Asian Infrastructure Investment Bank.
Dari perspektif investor asing, bermitra dengan INA boleh jadi lebih memberikan kepastian dan mencegah kemungkinan asimetri informasi yang dapat berimplikasi pada mahalnya biaya transaksi. Sejumlah PSN, terutama yang berbiaya besar, pembangunannya terancam molor akibat situasi pandemi.
Solusinya bisa saja menggunakan dana patungan antara SWF Indonesia dan SWF negara-negara lain yang bermodal besar, sehingga dapat tuntas tepat waktu sesuai target atau bahkan lebih cepat. Sebut saja Jalan Tol Trans-Sumatera, per Desember 2020 baru terselesaikan sepanjang 1.156 kilometer (belum sampai 40% dari total panjang yang akan dibangun) dan berpotensi mundur dari target 2024.
Di sektor transportasi massal berbasis rel, antara lain (kelanjutan) pembangunan jaringan rel kereta double track lintas selatan Jawa dan pengembangan LRT Jakarta–Bogor–Depok—Bekasi serta LRT rute Jakarta International Stadium Kelapa Gading– Manggarai.
Di sektor transportasi udara, terdapat beberapa bandar udara baru yang akan dibangun, seperti di Bali Utara dan layak ditawarkan melalui SWF, sehingga Bali akan memiliki dua bandara internasional untuk mengurangi beban Ngurah Rai.
Kiprah INA, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, akan berada dalam bingkai aturan formal dan informal (kode etik). Di samping berpatokan pada peraturan perundangan dan perjanjian dengan para mitra, INA perlu mengadopsi standar internasional kode etik, yakni Santiago Principles dengan 24 butir prinsip dan best practices yang menyangkut transparansi, independensi, dan tata kelola. Kode etik yang perlu disoroti antara lain menyangkut pembangunan berkelanjutan, disclosure investasi, dan independensi dari kepentingan politik dan benturan kepentingan lainnya.
Sejumlah pasal dalam PP Nomor 74/2020 bahkan sudah mengadopsi prinsip-prinsip tersebut menjadi aturan formal yang sifatnya koersif dan memungkinkan penegakan hukum.
Komitmen terhadap lingkungan dapat diwujudkan dengan investasi pada sektor ekonomi sirkular (terutama daur ulang limbah plastik, kertas, dan besi), internalisasi biaya lingkungan, dan praktek-praktek berwawasan lingkungan lainnya.
INA dapat menggandeng GPFG (Norwegia) misalnya untuk berinvestasi dalam PSN Program Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) dan sektor energi baru terbarukan. INA juga berkewajiban menerbitkan laporan tahunan yang diaudit mulai tahun ini.
Pada 2008 John Lipsky dari IMF pernah menyampaikan bahwa beberapa prakondisi perlu dipenuhi agar kiprah SWF berjalan sukses, yakni koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter, informasi yang memadai pada pihak-pihak terkait, aturan pandanaan dan penarikan yang ‘well designed’, tata kelola yang ‘well framed’, prosedur akuntabilitas yang jelas, serta kebijakan investasi yang bertanggung jawab.c