Bisnis.com, JAKARTA - Permenaker No. 2/2021 tentang pelaksanaan pengupahan kepada industri padat karya tertentu menjadi kompensasi dari pemerintah setelah pembatasan kegiatan yang dilakukan mengakibatkan berkurangnya arus kas sebagian besar perusahaan.
Beberapa sektor diatur dalam permen tersebut, antara lain industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur.
Sayangnya, sejauh ini belum diketahui signifikansi kebijakan tersebut terhadap proses pemulihan yang sedang dijalani oleh masing-masing sektor industri terdampak pandemi tersebut. Indikator output keberhasilan dari kebijakan tersebut pun tidak dijelaskan sehingga tidak secara utuh menggambarkan tujuannya.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, terbitnya peraturan tersebut sebenarnya agak terlambat lantaran dampak gila-gilaan pandemi Covid-19 terhadap industri padat karya sudah terjadi sejak 2020.
Selain itu, industri yang disasar seharusnya tidak terbatas di sektor padat karya semata. Pasalnya, kata Timboel, sektor lain, misalnya, industri pariwisata mengalami dampak yang paling parah akibat pandemi.
"Bagaimana dengan pengaturan upah di industri lainnya? Kan belum diatur. Harusnya mencakup seluruhnya," ujar Timboel kepada Bisnis.com, Kamis (18/2/2021).
Baca Juga
Dia menilai, penyesuaian upah dalam aturan ini juga tidak membantu seluruh pemangku kepentingan di satu industri. Dengan kata lain, tidak ada perlindungan terhadap kelas pekerja, baik dari segi kejelasan hitung-hitungan penyesuaian upah.
Seharusnya, sambung Timboel, pemerintah harus menyertakan persentase pemotongan jika mengatur hal tersebut dalam peraturan menteri yang sifatnya implementatif. Hal tersebut diperlukan untuk memastikan teraturnya penyesuaian upah yang dilakukan oleh pengusaha.
Kesepakatan antara pengusaha dan tenaga kerja dinilai mesti pula diikuti dengan perlindungan dari pemerintah.