Bisnis.com, JAKARTA - Setelah terdisrupsi pandemi Covid-19 yang melumpuhkan rantai pasok, inflasi pangan dunia menunjukkan tanda-tanda memburuk dalam beberapa bulan mendatang, dengan daging menjadi pendorong utama.
Pandemi Covid-19 membalikkan rantai pasokan pangan, melumpuhkan pengiriman, mengurangi pekerja karena terjangkit virus, dan pada akhirnya meningkatkan harga di tingkat konsumen di seluruh dunia.
Para peternak terutama babi dan unggas tercekik harga jagung dan kedelai yang menyentuh angka tertinggi dalam tujuh tahun, meningkatkan biaya pakan sebesar 30 persen atau lebih.
Dilansir Bloomberg, Rabu (17/2/2021), agar tetap untung, produsen termasuk Tyson Foods Inc. menaikkan harga, yang akan mempengaruhi rantai pasok dan menyebabkan lonjakan nilai jual yang lebih tinggi untuk daging sapi, babi, dan ayam dalam beberapa bulan mendatang di seluruh dunia.
Terakhir kali harga biji-bijian semahal ini adalah setelah kekeringan di Amerika Serikat pada 2012, diikuti kenaikan harga daging secara dramatis.
Sekarang, daging kembali siap menjadi pendorong inflasi pangan global, dan menjadi bagian dari perdebatan yang semakin intensif mengenai inflasi secara keseluruhan dan apa yang harus dilakukan oleh bank sentral serta pembuat kebijakan untuk membantu ekonomi yang masih bekerja untuk pulih dari pandemi.
Baca Juga
Vaksinasi yang menjanjikan kembalinya kehidupan normal dan triliunan dolar program stimulus fiskal diharapkan dapat memulihkan permintaan yang terpendam dan mendorong lonjakan harga konsumen. Pasar obligasi AS dan Eropa mengirimkan sinyal bahwa inflasi telah kembali. Ekspektasi inflasi satu tahun orang Amerika minggu lalu naik ke level tertinggi sejak 2014.
Adapun faktor utama yang mendorong kenaikan harga pakan ternak yakni cuaca buruk yang menyusutkan panen dunia. Selain itu, permintaan juga meningkat. China, importir komoditas terbesar, meraup rekor jumlah pasokan yang tersedia untuk memberi makan ternak babi.
Produsen daging di negara-negara pengekspor utama juga merasakan dampak dari harga biji-bijian yang lebih tinggi.
Di Brasil, eksportir unggas terbesar, biaya pemeliharaan ayam melonjak 39 persen tahun lalu karena pakan. Biaya naik lagi bulan lalu sekitar 6 persen.
Di Eropa, profitabilitas operasi peternakan telah anjlok karena kombinasi dari biaya pakan yang tinggi dan permintaan yang terhambat dari penguncian Covid-19. Menurut analis senior Rabobank, Chenjun Pan, beberapa peternak babi yang lebih kecil mungkin terpaksa keluar dari pasar.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengatakan harga daging global pada Januari naik selama empat bulan berturut-turut. Sejak 1 Desember 2020, jagung berjangka di Chicago telah meningkat 29 persen dan kedelai 19 persen.
“Kami pasti mengharapkan margin keuntungan ditekan dan kemudian produsen harus mulai berpikir tentang bagaimana mereka akan menutupi harga itu,” kata Upali Galketi Aratchilage, ekonom senior di FAO.
Wabah penyakit hewan juga dapat mendorong harga daging lebih tinggi, dengan beberapa bagian Eropa dan Asia mengalami flu burung. Virus babi mematikan yang disebut demam babi Afrika masih menyebar di beberapa negara setelah membinasakan ternak di China, dan baru-baru ini menyebabkan perusahaan babi Filipina keluar dari industri.
Harga daging di toko grosir eceran naik paling tinggi setelah petani mengurangi jumlah ternak karena penurunan keuntungan. Will Sawyer, ekonom protein hewani di pemberi pinjaman pertanian CoBank ACB mengatakan itu adalah proses yang memakan waktu, yang berarti ada jeda antara inflasi biaya pakan dan kenaikan harga konsumen.
Sementara itu di AS, operasi peternakan dan unggas telah mulai menyusut karena keuntungan tipis di tengah pandemi. Menurut data pemerintah, kawanan babi Amerika pada Desember turun 0,9 persen dari tahun sebelumnya dan kawanan ternak pada Januari sebesar 0,2 persen.
Selain itu, kekeringan yang meluas menyebabkan padang rumput yang layu dan harga pakan melonjak 30 persen.
Clayton Huseman, direktur eksekutif Kansas Livestock Association berpendapat tantangan pasar dan cuaca kemungkinan akan mendorong peternak untuk mundur.
"Selama beberapa tahun ke depan, kami memprediksi pasokan akan semakin ketat," kata Huseman.