Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengusulkan agar tarif royalti progresif batu bara pada rentang 14 persen—20 persen bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus hasil perpanjangan operasi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Dalam usulan APBI, besaran royalti untuk batu bara yang diekspor disesuaikan dengan harga batu bara acuan (HBA) yang tengah berlaku. Untuk HBA di bawah US$70 per ton, besaran royalti diusulkan sebesar 14 persen.
Kemudian, untuk HBA US$70—US$80 per ton diusulkan sebesar 16 persen, HBA US$80—US$90 per ton sebesar 18 persen, dan HBA di atas US$90 per ton sebesar 20 persen, sedangkan untuk tarif royalti batu bara untuk penjualan dalam negeri diusulkan flat 14 persen.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa usulan tersebut telah disampaikan secara resmi kepada Kementerian Keuangan.
"Usulan tersebut merupakan batas dari kemampuan perusahan-perusahaan pertambangan batu bara, baik secara finansial maupun teknis karena apabila lebih tinggi dari formula tersebut akan berdampak," ujarnya kepada Bisnis, Senin (25/1/2021).
Menurutnya, batu bara merupakan komoditas yang harganya berfluktuasi mengikuti permintaan dan harga pasar dunia sehingga dibutuhkan fleksibilitas dalam penentuan royalti.
Baca Juga
Dia menuturkan bahwa dengan menggunakan formula yang diusulkan asosiasi tersebut akan terjadi peningkatan penerimaan negara sekitar 4 persen—7 persen sehingga telah memenuhi amanat Pasal 169 a ayat (1) b UU Nomor 3 Tahun 2020 yang tidak memberi patokan khusus dalam besaran peningkatan tersebut.
Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah mengenai perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak di bidang usaha pertambangan batu bara.
Salah satu ketentuan yang akan diatur di dalamnya adalah mengenai royalti atau dana hasil produksi batu bara untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan khusus sebagai perpanjangan operasi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (10/12/2020), Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan bahwa dalam pembahasan RPP tersebut awalnya Badan Kebijakan Fiskal mengusulkan tarif royalti batu bara berlaku flat sebesar 24%. Namun untuk mempertimbangkan keberlangsungan perusahaan tambang, Kementerian ESDM mengusulkan penerapan tarif royalti berjenjang.
Tarif royalti berjenjang tersebut memperhitungkan rata-rata HBA dalam 10 tahun terakhir dan tingkat HBA dalam 20 tahun ke depan.
Adapun, usulan tarif royalti berjenjang ini mempertimbangkan adanya potensi pengurangan penerimaan negara akibat berlakunya Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang memasukkan batu bara sebagai barang kena pajak.