Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai penghapusan regulasi tentang upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) tidak akan mempengaruhi penghasilan dan daya beli dari masyarakat.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa asosiasi tidak setuju jika UMSK menjadi patokan kenaikan upah, justru seharusnya mempertimbangkan dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).
Dia berharap dengan berlakunya kebijakan tersebut SDM menjadi aset yang harus dan dapat ditingkatkan upahnya sesuai kompetensinya masing-masing melalui sertifikasi kompetensi pekerja.
"Jadi UMSK tidak bisa jadi patokan hanya karena UMSK nilainya tinggi, kalau jadi patokan berarti membatasi kenaikan upah pada orang yang punya kompetensi dari teman sejawat. Itu justru mengunci SDM yang bagus menjadi tidak bisa naik upah," katanya saat dihubungi Bisnis, Rabu (7/10/2020)
Lebih lanjut, Hariyadi menjelaskan bahwa fungsi dari upah minimum sebagai jaringan pengaman sosial.
“Artinya, upah terendah yang harus dibayarkan pemberi kerja, diatas UMP [upah minimum provinsi] seharusnya dibicarakan secara terpisah. Selama ini, selama 17 tahun undang-undang tenaga kerja ini sudah disalah persepsinya bahwa upah minimum adalah upah rata-rata, nah ini yang jadi masalah,” ujarnya.
Baca Juga
Menurutnya, jaring pengaman sosial ini selalu dimainkan di lapangan dan membuat perhitungan dari pelaku di dunia usaha bermasalah dan kewalahan dalam menyerap kebutuhan tenaga kerja dan dari sisi kenaikan upah nantinya.
“Nantinya, kenaikan upah diatas upah minimum itu pembicaraannya sudah tidak diatur dalam ketentuan undang-undang, tetapi secara terpisah. Terpisah disini yaitu di levelnya perusahaan masing-masing. Kalau diatas upah minimum kan sudah diatas jaringan pengaman, dan jangan dilupakan jaringan pengamanan sosial itu untuk pekerja yang tidak berpengalaman yang belum pernah bekerja,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa berlakunya kebijakan tersebut akan mengembalikan fungsi upah kepada muruahnya, yang diharapkan upah menjadi realistis sehingga penciptaan lapangan kerja, khususnya padat karya bisa berjalan dengan baik.
“Sekarang ini tidak jalan karena upah minimum yang dianggap seperti upah rata-rata, orang yang baru kerja bisa-bisa upahnya lebih tinggi dibandingkan orang yang telah berpengalaman lebih dari satu tahun. Itu yang menjadi masalah terus, dengan diatur akan lebih adil untuk kedua belah pihak,” katanya.
Dia mengatakan bahwa aturan ini dibuat untuk menjadi jalan tengah antara buruh, pengusaha, dan angkatan kerja.
Menurutnya, undang-undang sebelumnya menjadi hambatan dalam urusan tenaga kerja yang membuat kualitas penyerapannya tidak bagus. Pasalnya, upah minimum tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya keadaan di lapangan.
“Akhirnya, angkatan kerja baru tidak bisa bersaing, karena perusahaan akan memilih yang lebih berpengalaman untuk memberikan upah minimum tadi. Sekarang, orang yang baru bekerja tersingkir itu yang sama pemerintah diluruskan, upah terendah ini untuk mereka [angkatan kerja baru] yang harus dibayarkan oleh perusahaan,” katanya.
Dia mengatakan bahwa pemerintah akan terus mewakili masyarakat Indonesia dan berada di posisi tengah sehingga tidak akan condong pada keuntungan salah satu pihak.
“Pekerja punya serikat, pengusaha punya perwakilan, pengangguran tidak punya perwakilannya sehingga pemerintah mengisi di sini dan memperhatikan mereka secara adil agar penyerapan tenaga kerja tidak menjadi bermasalah,” katanya.