Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi periode kuartal kedua tahun ini yang mencapai 5,12% (year-on-year/yoy) dinilai cukup mengejutkan bagi dunia usaha dan ekonom. Namun, laju pertumbuhan ini disebut dapat terus terjaga.
Data BPS menunjukkan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal I/2024 sebesar 5,11%, kemudian diikuti oleh pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 5,05%.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan secara siklus tahunan, kuartal kedua memang umumnya lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang ditopang oleh belanja masyarakat dalam periode lebaran.
“Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% dengan segala perdebatannya, menjadi sebuah indikator tren pertumbuhan ekonomi yang naik pada tahun 2025,” kata Ajib kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).
Meskipun, para ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi cenderung lebih rendah lagi di kuartal kedua. Konsensus pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025 hanya di kisaran 4,69%—4,81%.
Hal ini juga didukung oleh Purchasing Managers' Index (PMI) sektor manufaktur yang mengalami konstraksi sepanjang kuartal. PMI Manufaktur Juli 2025 tercatat 49,2 atau masih di fase kontraksi.
Baca Juga
Pada April 2025 PMI manufaktur tercatat sebesar 46,7. Konstraksi paling dalam sejak 4 tahun terakhir. Adapun, pada Mei 2025 mengalami peningkatan indeks menjadi 47,4, Juni 2025 kembali mengalami penurunan, menjadi sebesar 46,9.
“Data konstraksi PMI Manufaktur ini juga relevan dengan potret di lapangan, terjadi fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya-nanya (rohana), padahal daya beli dan konsumsi ini yang menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Jika ditelisik, BPS mengebut ada dua hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup eskalatif di kuartal kedua 2025 ini yakni investasi dan kebijakan moneter.
Pertama, investasi disebut tumbuh secara signifikan sebesar 6,99% yoy atau level tertinggi selama 4 tahun terakhir, terutama karena proyek infrastruktur.
Adapun, kuartal kedua ini mencapai Rp477,7 triliun, dengan rasio 57,7% dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 42,3% dari Penanaman Modal Asing (PMA).
Faktor kedua adalah karena kebijakan moneter, yang membuat relaksasi tingkat suku bunga acuan turun 25 basis point pada Mei 2025, menjadi 5,5%.
Ajib menilai kebijakan ini cukup menambah likuiditas di sistem perekonomian sebesar 375 triliun lewat relaksasi cadangan.
“Kebijakan ini diharapkan bisa berlanjut memberikan dampak positif pada kuartal ketiga, karena pada awal Juli, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan menjadi 5,25%,” tuturnya.
Masukkan Apindo
Untuk itu, Apindo memberikan 4 masukan agar pertumbuhan ekonomi bisa terjaga sampai dengan akhir tahun untuk jangka pendek, dan sampai dengan tahun 2029 untuk jangka menengah.
Pertama, adalah penguatan daya beli masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah diminta untuk mendorong penyerapan tenaga kerja. Seluruh kebijakan lembaga dan kementerian, harus mempunyai orientasi dan output dalam penyerapan tenaga kerja.
Kedua, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran, dan mendorong low cost economy. Percepatan restitusi, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), relaksasi pajak untuk UMKM, menjadi bagian kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan.
“Kemudian tingkat suku bunga kredit yang murah, perlu didorong terutama untuk sektor padat karya,” imbuhnya.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong regulatory streamlining, atau deregulasi. Percepatan layanan, kemudahan koordinasi, penyederhaaan perijinan, adalah bagian dari deregulasi.
Apindo mendukung pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Deregulasi dari Kemenko Perekonomian, bagian dari kolaborasi dunia usaha dan pemerintah dalam mendukung perekonomian yang lebih baik.
Keempat, mendorong lebih banyak investasi yang masuk. Rasio investasi PMA masih rendah, dan potensi bisa ditingkatkan, dengan catatan, pemerintah harus fokus dengan upaya mendorong ease to doing business atau kemudahan dalam berusaha.
“Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara. Idealnya Indonesia bisa di peringkat 40. Momentum ratifikasi IEU-CEPA juga menjadi angin segar menuju free trade agreement dan membuka pintu investasi dari Uni Eropa ke Indonesia,” tuturnya.
Ajib menuturkan, meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025, menjadi sebuah paradoks dari daya beli yang sedang menurun, tetapi dengan segala diskursus yang ada, dunia usaha optimis secara agregat tahun 2025, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai sesuai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PEM-PPKF) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Untuk itu, pemerintah diminta untuk menggandeng dunia usaha agar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dan eskalatif ke depannya. Kolaborasi inilah yang terus didorong melalui Indonesia Incorporated.