Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Unsur Pengusaha Bob Azzam menilai keluwesan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dalam hal penentuan upah minimum memberikan kesempatan para pengusaha melakukan adaptasi.
Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi ditambah tingkat inflasi.
Sementara di dalam UU Ciptaker, formula perhitungan upah minimum diubah dengan memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Dengan demikian, dalam menentukan kenaikan upah minimum, pemerintah harus memiliki antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Pemerintah, sejauh ini cenderung mengarah ke sisi inflasi daripada pertumbuhan ekonomi (PE) sebagai salah satu syarat kenaikan gaji bagi para pekerja.
Bob mengatakan Dewan Pengupahan unsur pengusaha sepakat dengan rumusan kenaikan upah minimum yang dirumuskan pemerintah dalam UU Ciptaker dengan lebih cenderung mengacu ke faktor inflasi yang mencerminkan kondisi daya beli.
Dibandingkan dengan skema yang diatur dalam UU No. 13/2003, skema yang diatur di dalam UU Ciptaker dinilai lebih luwes. Pasalnya, faktor pertumbuhan dinilai menyamaratakan seluruh sektor perusahaan yang tingkat pertumbuhan pendapatan perusahaan.
Baca Juga
"Soalnya, perusahaan ada yang growth-nya lebih tinggi, ada yang lebih rendah. Harusnya sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan masing-masing dan pembahsannya dilakukan di tripartit masing-masing perusahaan. Jadi, UU Ciptaker ini spiritnya adalah memberikan perusahaan kesempatan untuk menyesuaikan diri," kata Bob kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Terkait dengan dihapuskannya ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Bob mengatakan pemerintah mesti memperbanyak dialog untuk memperdalam pemahaman perusahaan mengenai UU Ciptaker.
Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum diatur di pasal 89 dan mencakup mandatori UMP/UMK dan UMSK. Tolok ukur penetapannya didasarkan oleh Kebutuhan Hidup Layak (KHL) melalui Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker).
Penetapan upah minimum dilakukan oleh gubernur melalui rekomendasi dewan pengupahan. Formulasinya menggunakan perhitungan inflasi dan PE nasional.
Kemudian, pasal 90 mengatur pengusaha dilarang membayar lebih rendah dari ketetapan upah minimum. Namun, jika tidak sanggup membayar, dapat ditangguhkan.
Sementara dalam UU Ciptaker, pasal 89 dan 90 UU Ketenagakerjaan dihapus dan digantikan dengan Pasal 88 A—E. Dalam aturan baru tersebut, gubernur wajib menetapkan UMP dengan mengacu kepada PE dan data ketenagakerjaan, serta boleh saja menetapkan UMK dengan syarat tertentu dengan mengacu kepada PDRB dan inflasi daerah.
"Mestinya dialog diperbanyak oleh pemerintah. Banyak yang tidak paham dengan UU Ciptaker. Sebenarnya pemerintah sudah memfasilitasi. Kemudian ada konsultasi tripartit sebelum UU diserahkan ke DPR RI. Hanya saja pada waktu konsultasi ada pihak yang sudah walk out," kata Bob.
Hal tersebut, lanjutnya, sudah dibahas pasal per pasal dan aspirasi seluruh pemangku kepentingan telah disampaikan di parlemen.
"Sekarang kembali ke pekerjanya dong. Kan, unsur-unsurnya sudah menerima UU Ciptaker. DPR RI sudah melakukan evaluasi, dan pengusaha seperti itu juga. Satu-satunya untuk yang belum melakukan hal tersebut adalah pekerja," jelas Bob.
Terkait dengan dampak perubahan skema penentuan upah di UU Ciptaker, Bob enggan berkomentar banyak.
Bob mengatakan di dalam kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi bergerak di zona minus, alih-alih persoalan kenaikan upah, hal yang seharusnya dipermasalahkan adalah bagaimana cara mempertahankan upah.
"Jadi, sekarang isunya bukan menaikkan upah, tapi mempertahankan upah," kata Bob.