Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah tengah melakukan pembahasan terkait dengan skema upah minimum yang mesti segera diselesaikan sebelum penetapan yang tinggal menghitung hari lagi.
Kendati tak punya banyak waktu, pemerintah pun sudah memiliki kecenderungan bakal menerapkan skema apa nantinya.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Dinar Titus Jogaswitani mengatakan pemerintah masih membahas perihal tersebut dan mengedepankan kondisi daya beli sebagai faktor kunci.
Dinar menilai faktor daya beli sangat berpengaruh bagi inflasi dan pemerintah cenderung mengarah ke sisi inflasi daripada pertumbuhan ekonomi (PE) sebagai salah satu syarat kenaikan gaji bagi para pekerja.
"Jadi, apakah pilihannya dalam Peraturan Pemerintah [PP] nanti adalah pertumbuhan ekonomi atau inflasi, pemerintah inginnya sih keduanya. Ternyata harus pilih salah satu. Dengan mempertimbangkan faktor daya beli, mungkin nanti yang dipilih dalam PP ada inflasi," ujar Dinar kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kenaikan upah minimum ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi ditambah tingkat inflasi.
Baca Juga
Dinar menambahkan, dalam PP yang sedang disusun terdapat penjelasan bahwa dengan mengacu kepada salah satu faktor, baik itu pertumbuhan ekonomi maupun inflasi, untuk kenaikan upah minimum kabupaten (UMK) dapat dilakukan jika salah satu dari dua hal tersebut mengalami pertumbuhan positif.
Namun, dia tidak menjelaskan lebih jauh terkait dengan skema kenaikkan UMK dan penghapusan ketentuan UMSK dalam UU Ciptaker. Padahal selama ini UMK dan UMSK juga menjadi bantalan buruh ketika kenaikan UMP ditetapkan rendah.
Perlu diketahui, pemerintah menghapus ketentuan UMSK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum diatur di pasal 89 dan mencakup mandatori UMP/UMK dan UMSK. Tolak ukur penetapannya didasarkan oleh Kebutuhan Hidup Layak (KHL) melalui Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.
Penetapan upah minimum dilakukan oleh gubernur melalui rekomendasi dewan pengupahan. Formulasinya menggunakan perhitungan inflasi dan PE nasional.
Kemudian, pasal 90 mengatur pengusaha dilarang membayar lebih rendah dari ketetapan upah minimum. Tetapi, jika tidak sanggup membayar, dapat ditangguhkan.
Sementara dalam UU Ciptaker, pasal 89 dan 90 UU Ketenagakerjaan dihapus dan digantikan dengan Pasal 88 A—E. Dalam aturan baru tersebut, gubernur wajib menetapkan UMP dengan mengacu kepada PE dan data ketenagakerjaan, serta boleh saja menetapkan UMK dengan syarat tertentu dengan mengacu kepada PDRB dan inflasi daerah.
Dengan kata lain, UMK bukan lagi ketentuan yang bersifat mandatori. Tetapi, jika gubernur menetapkan UMK, nilainya harus lebih tinggi daripada UMP.