Bisnis.com, JAKARTA -- Terlepas dari dari keyakinan bahwa kehadiran UU Cipta Kerja bisa menjawab urgensi pemulihan ekonomi usai pandemi, suara penolakan dari berbagai kelompok tak surut mengiringi bunyi ketokan palu pengesahan.
DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Senin petang (5/10/2020).
Mayoritas fraksi DPR RI sejatinya menyatakan persetujuan atas substansi dalam RUU Cipta Kerja setelah 64 kali rapat pembahasan digelar. Hanya dua fraksi yang menolak yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam paparan pandangan akhir fraksi, juru bicara Partai Demokrat Marwan Cik Asan tak memungkiri bahwa RUU Cipta Kerja bisa memainkan peran untuk mewujudkan reformasi birokrasi dan penyederhanaan regulasi yang tumpang tindih demi menarik investasi.
Meski demikian, Partai Demokrat menyoroti mengemukanya penolakan dari masyarakat yang berpendapat bahwa aturan ini disertai dengan agenda yang tak selamanya membawa manfaat.
Marwan juga mengatakan bahwa niat baik perumusan Undang-Undang Cipta Kerja tidak diimbangi dengan mekanisme pembahasan yang ideal. Hal ini secara tak langsung mereduksi tujuan hadirnya undang-undang yang harus prospektif dan bersifat jangka panjang dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Baca Juga
“Pembahasan RUU terlalu cepat dan terburu-buru sehingga pembahasan substansi pasal-pasal terasa kurang mendalam,” kata Marwan di hadapan peserta Rapat Paripurna.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani pun mengemukakan kritik yang kurang lebih senada. Dia menilai tidak ada urgensi dalam pengesahan RUU Cipta Kerja ini mengingat fokus pemerintah seharusnya tertuju pada penanganan Covid-19 dan upaya menenangkan masyarakat.
“Kalau disahkan sekarang justru kontraproduktif. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman PHK di mana-mana, pekerja akan melihat aturan ini dengan negatif. Seharusnya pemerintah mempercepat bantuan bagi kelompok yang membutuhkan,” kata Aviliani kepada Bisnis.
Dia tak memungkiri bahwa substansi ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja memang lebih fleksibel dan menjawab pergeseran pasar tenaga kerja pada masa mendatang yang bakal mengikuti perubahan perilaku masyarakat dan maraknya digitalisasi usaha.
Namun, keinginan pemerintah untuk menjadi UU tersebut sebagai modal utama menjaring investasi demi menciptakan lapangan kerja di ilai masih jauh panggang dari api.
“Untuk investasi sekarang lebih banyak ke short term seperti ke saham. Sementara ke yang sifatnya jangka panjang investor masih enggan. Menjaring investasi asing pada tahun depan pun sulit. Pertumbuhan ekonomi 4 persen tetap berat karena pelaku usaha tak langsung ekspansi. Mereka akan konsolidasi dahulu,” kata dia.