Bisnis.com, JAKARTA – Stimulus properti yang digelontorkan pemerintah berupa subsidi atau insentif subsidi bunga kepada debitur kredit perumahan rakyat (KPR), yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 138/PMK.05/2020 dan perubahan PMK 85/PMK.05/2020, dinilai tak berdampak besar.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan stimulus tersebut bersifat sementara, yakni enam bulan dan terbatas untuk kredit rumah murah. Menurutnya, bantuan dibutuhkan secara merata baik untuk rumah tipe murah hingga rumah menengah serta properti lain seperti hotel dan pusat perbelanjaan.
Saat ini yang dibutuhkan bukan keringanan bunga, melainkan penundaan cicilan KPR karena banyak debitur yang tak mampu membayar cicilan karena dirumahkan atau di-PHK akibat pandemi Covid-19.
"Relaksasi atau insentif ini efeknya juga tidak besar, sebab hanya berlaku 3 bulan. Ini akan lebih efektif jika pemerintah membantu penundaan pembayaran KPR kepada masyarakat dibandingkan memberikan relaksasi ini," ujarnya dalam acara Markplus Industry Roundtable: Property Perspective secara virtual pada Jumat (2/10/2020).
Menurutnya, pemerintah harus lebih jeli melihat kebutuhan di lapangan apabila tujuannya ingin membangkitkan sektor properti.
Untuk menyelamatkan cashflow perusahaan properti pada masa pandemi Covid-19, pemerintah perlu memberikan keringanan di sisi pajak pusat, pajak retribusi daerah, pembiayaan operasional, hingga pelaporan transaksi properti.
Baca Juga
"Fatal urusannya apabila sampai sektor properti dibiarkan terpuruk karena ada 70 sektor turunan lainnya yang juga terancam keberadaannya. Pemerintah memutuskan saya dikasih permen kok masih lapar, saya kasih kopi kok tambah lapar. Padahal, saya kasih gratis. Ternyata, butuhnya bukan itu, butuhnya nasi untuk makan," paparnya.
Totok mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan dalam empat paket sekaligus. Adapun stimulus tersebut pertama, penurunan tarif PPh Final Sewa Tanah dan Bangunan yang semula sebesar 10 persen menjadi 5 persen untuk jangka waktu 12-18 bulan. Lalu, juga penurunan tarif PPh Final Jual Beli, PPN, dan kelonggaran waktu pembayaran.
Kedua, berupa keringanan pajak/retribusi daerah, yakni pengurangan PBB hingga 50 persen, penurunan BPHTB dari 5 persen menjadi 2 persen dan khusus rumah sederhana menjadi 1 persen, serta kelonggaran waktu pembayaran baik PBB maupun BPHTB.
Sebagai contohnya yakni menurunkan tarif PPh final sewa tanah dan bangunan sebesar 10% menjadi 5% dalam kurun waktu 12 bulan sampai 18 bulan. Lalu, penurunan PPh final jual beli tanah dan bangunan sebesar 2,5 persen menjadi hanya 1 persen.
"Selain itu, pengurangan 50 persen pajak PBB yang mesti dibayarkan, mengurangi BPHTB dari 5 persen menjadi 2,5 persen dengan kelonggaran waktu mencapai 12 bulan," ucapnya.
Ketiga, pemangkasan biaya operasional, seperti subsidi listrik dan air untuk serta kelonggaran pembayaran. Adapun keringanan penggunaan listrik diharapkan 50% dari PLN atau pada penambahan anggaran pemasangan jaringan listrik rumah. Lalu PDAM dan semuanya diberlakukan kelonggaran pembayaran 6 sampai 9 bulan dari batas waktu pembayaran Juli hingga Desember 2020.
"Terakhir, berupa relaksasi pelaporan transaksi properti, ingin pembelian properti baik perorangan maupun badan usaha yang sumber dananya belum tercatat dalam SPT dikenakan pajak sebesar 5 persen, serta selanjutnya dapat dimasukkan untuk pelaporan pajak tahun selanjutnya," tuturnya.