Bisnis.com, JAKARTA - "Sebelum masa jabatan habis, saya ingin membuat BI [Bank Indonesia] lebih baik. Sistem pengawasan bank beres, moneter beres, termasuk redenominasi."
Ucapan tersebut merupakan keinginan Gubernur Bank Indonesia periode 2010-2013, Darmin Nasution. Berdasarkan catatan Bisnis, pada Agustus 2011, Darmin kala itu optimistis proses pelaksanaan redenominasi atau perubahan harga rupiah dimulai sebelum masa jabatannya habis pada 2013.
Pasalnya, koordinator penyederhanaan mata uang sudah berada di tangan Wakil Presiden, sehingga dinilai akan mempermudah rencana tersebut. Tugasnya di bank sentral, sebutnya, hanya membenahi dan menyusun kembali pondasi institusi tersebut agar disegani dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Darmin pun pernah mengutarakan alasan perlu dilakukan redenominasi karena pecahan uang Indonesia terlalu besar, sehingga menimbulkan inefisiensi dan kenyamanan dalam melakukan transaksi.
Darmin Nasution, ketika menjabat sebagai Menko Perekonomian (kiri), saat penyampaian keberatan atas European Union's Delegation Act yang disusun Komisi Eropa, di Jakarta, Senin (18/3/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Redenominasi juga dipersiapkan untuk kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan saat memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Selain itu, nilai rupiah yang terlalu besar mencerminkan suatu negara mengalami inflasi yang tinggi.
Menurut rencana, program redenominasi akan dilakukan dalam empat tahap, yakni penyiapan, pemantapan, implementasi dan transisi, serta tahap finishing.
Namun, rencana dimulainya tahap redenominasi, seperti yang diharapkan Darmin, urung berjalan karena pelemahan ekonomi, baik global maupun domestik.
Pemerintah pun sempat tidak memprioritaskan rancangan undang-undang mengenai perubahan harga rupiah ini pada 2017. Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mempersilakan redenominasi sebagai wacana publik, tetapi tidak mengutamakan dari sisi legislasi regulasinya.
“Saya anggap redenominasi ini tidak kami diskusikan dulu karena saya lebih fokus pada APBN 2018 yang sekarang. Dalam rangka itu, kami akan tunda dulu,” tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Walaupun demikian, Gubernur BI periode 2013 hingga 2018, Agus D.W. Martowardojo berkukuh agar pembahasan redenominasi tetap berjalan.
Agus menilai kondisi perekenomian Indonesia pada saat itu sudah cukup tepat untuk menghilangkan tiga digit pada nominal mata uang, tanpa memangkas nilai, terutama ketika kondisi inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi membaik pada kuartal I/2017 sebesar 5,01 persen secara tahunan.
"Kami lihat kuartal I/2017 dibandingkan kuartal I/2017 atau dibanding kuartal IV/2016 semuanya lebih baik. Jadi, ini saat yang tepat," ujarnya Senin (29/5/2017).
Agus D.W. Martowardojo, saat menjabat Gubernur Bank Indonesia, memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (17/5/2018)./ANTARA-Sigid Kurniawan
Menurut otoritas moneter, ada tiga tahap dalam kebijakan redenominasi rupiah ini. Pertama, tahap persiapan. Apabila pemerintah dan DPR bersepakat untuk mengesahkan RUU tersebut pada tahun ini tahap persiapan akan dimulai pada 2018—2019.
Kedua, pada 2020—2024 menjadi masa transisi ketika bank sentral mulai menerbitkan uang baru yang telah diredenominasi. Pada masa inilah akan ada harga dengan nilai rupiah lama dan baru. Ketiga, adalah tahap phase out atau penarikan uang lama yang berlangsung pada periode 2025—2029.
Dengan demikian, butuh waktu panjang sekitar 11 tahun dari persiapan hingga penarikan uang lama. Sayangnya, sekali lagi RUU redenominasi belum disahkan hingga periode jabatan Agus selesai.
Sampai pada pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada tahun lalu, wacana ini kembali menguat.
Para anggota dewan menitipkan sejumlah harapan kepada Destry Damayanti yang terpilih mengisi jabatan tersebut, yaitu terkait dengan produk keuangan, suku bunga acuan, dan redenominasi rupiah.
Ketua Komisi XI DPR-RI Melchias Markus Mekeng mengatakan agar pemerintah perlu segera melakukan sosialisasi. Tujuannya untuk memberi pemahaman kepada rakyat bahwa redenominasi rupiah bukan pemotongan uang.
"Kalau cuma prolegnas [redenominasi rupiah] boleh saja. Yang penting hemat saya rakyat harus paham redenominasi bukan potong uang karena kita pernah alami masa potong uang dan rakyat kehilangan uang," ujar Melchias.
Adapun, pada tahun ini rencana tersebut kembali bergulir. Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadikan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai salah satu fokus perhatian, yang tertuang dalam PMK No.77/PMK.01/2020 terkait rencana strategis Kemenkeu 2020-2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan kepada tim Bisnis Indonesia saat wawancara eksklusif di Jakarta, Jumat (22/11/2019). Bisnis/Abdullah Azzam
Terdapat dua alasan mengapa rencana tersebut masuk dalam rencana strategis Kemenkeu.
Pertama, kebutuhan terkait efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.
Kedua, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah.
Dengan masuknya RUU redenominasi rupiah dalam fokus pemerintah hingga 2024, perlu ditunggu apakah akan terlaksana sebelum pemerintahan berganti, atau akan kembali menjadi rencana seperti masa-masa sebelumnya.